madyapadma

madyapadma
my first teacher in journalistic

Tuesday, August 30, 2011

Eksportir Mandiri yang Berdikari

Seperti mengambil satu bola warna merah dari kotak yang berisi campuran bola merah dan putih. Ketidakpastian membuat seorang enterpreneur harus berani mengambil resiko.

Siang yang panas. Angin semilir menghampiri garasi kecil di rumah kontrakan. Di sanalah Wensislaus Makmur (29) berkutat dengan lembaran-lembaran kulit imitasi. Selama ini ia hanya mengerjakan pesanan tas dari agen atau kliennyanya, baik itu tas karung, tas kulit, atau dompet kulit. “Saya mengerjakan pesanan dari klien, bahannya pun mereka yang ngasi. Saya tinggal buat sesuai dengan maunya mereka. Setelah jadi, klien saya itu yang menjualnya di luar negeri. Ada yang dari Italia, Prancis, Belanda, Amerika, Australia,” terang Makmur di sela-sela deruman sepeda motor yang lewat di gang rumahnya yang sempit.

Begitulah, selama ini kelangsungan hidup Makmur sangat bergantung dengan pesanan dari agen. Bisa dibilang, Makmur bukanlah eksportir sesungguhnya. Belum mandiri, baik dari permodalan maupun pemasaran. Karena bagi Makmur untuk melakukan itu semua, yang ia miliki hanya ‘modal dengkul’.

Kepala Dinas Perdagangan dan Industri Provinsi Bali, Drs. Gede Darmaja, M.Si., berpendapat bahwa pengerajin kita memiliki kesempatan untuk memasarkan produknya ke luar negeri. Hanya saja masalahnya ada pada mainset pengerajin kita yang mudah puas dan tidak berani mengambil resiko, serta lemahnya penguasaan manajemen keuangan dan pemasaran. “Kalau masalah modal, bank-bank di Indonesia bisa menyediakan kredit bagi pengusaha-pengusaha kecil” imbuhnya.

Kenyataannya, banyak eksportir Bali bergantung pada agen untuk memasarkan produknya. Mereka terlalu takut untuk meminjam uang di bank. “Kita pengusaha kecil-kecilan. Mana ada bank yang mau ngasi pinjaman” keluh Makmur.

Memasarkan produk lewat agen tidak selamanya memberi berkah. Sesungguhnya para pengerajin itu tengah dibohongi. Pengerajin hanya menerima rupiah dari agen, sedangkan agen mendapatkan dolar dari cucuran keringat para pengrajin. Tentunya dengan menaikkan harga sekian kali lipat. Sungguh ironis.

Matanya mulai berkaca-kaca mengenang saat ia ditipu mentah-mentah oleh agen. Tampaknya ia tak ingin kejadian yang sama menimpanya kembali. Saya tahu tempat tinggalnya. Tapi buat apa? Kalau dia merasa punya hutang, silahkan bayar, tapi kalau enggak ya sudah. Saya ikhlasin aja. Apalagi kita ini cuma pengerajin kecil,” ungkap Makmur.

Cahaya menyeruak saat ia kembali melanjutkan memotong kulit imitasi bahan dompet. Ia mengaku terlalu takut mengambil resiko untuk memasarkan produknya sendiri. Tanggungan istri dan anak memaksanya bermain aman. “saya ngga mau terlalu PD (percaya diri-red), aku masih harus ngebiayain istri sama anakku, jadi ya syukurin aja dulu. Yang penting halal” utaranya.

Selama ini kerajinan merupakan penopang hidup keluarga Makmur. Setidaknya hal itu sudah cukup membuat asap dapurnya tetap mengepul. Walaupun dia tidak tahu pasti, apakah dengan profesi ini kelak akan mampu mengangkat derajat hidupnya. (dp)

No comments:

Post a Comment