madyapadma

madyapadma
my first teacher in journalistic

Tuesday, August 30, 2011

Kanggoang Mone: Karakter Wirausaha Muda Bali

Kanggoang mo­ne. Itulah karakter orang Bali yang hingga kini masih sulit untuk bisa dirubah,” ungkap Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Drs. Gde Darmaja, M.Si.

Kemampuan eksportir Bali dalam mendapatkan pembeli tidaklah ”spesial”. Mereka tidak terlalu menguasai ”pasar”. Selama ini mereka banyak terbantu oleh predikat Bali sebagai tujuan wisata dunia. Memang benar para pengerajin Bali memiliki tangan-tangan yang terampil. “Jiwa dan sentuhan seni yang tidak mampu disamai oleh perajin dari negara manapun. Oleh karena itu, kerajinan Bali diminati wisatawan mancanegara,” tutur Darmaja. Wisatawan asing yang berlibur ke Bali secara ”kebetulan” melihat berbagai produk kerajinan yangs mengundang naluri bisnis wisatawan untuk menjual produk dari Bali di negeri mereka.

Namun keunggulan itu tampaknya tidak mampu menjadikan Bali sebagai daerah yang produk ekspornya paling diminati. Pertumbuhan ekspor di Bali ternyata tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mampu menguasai bidang ini dengan baik. Sebagian besar eksportir di Bali belajar ekspor secara otodidak. ”Saya dulunya kuli yang kerja sama bule, jadi saya belajar sedikit-sedikit dari sana,” ucap Wensislaus Makmur (29), Pengrajin tas dari karung beras. Hal serupa juga diungkapkan oleh Putu Suandewi (25), Pengarajin kepompong ulat sutra, ”Sebelum memulai usaha ini, saya mencari kesibukan jadi tukang pasang mote, jadi taulah sedikit dari sana” terang Suandewi.

Pengetahuan tentang seluk beluk ekspor yang pas-pasan, membuat pemahaman eksportir Bali hanyalah sebatas membuat barang dan menjualnya, belum sampai pada tata cara pemasaran, dan pemahaman akan selera pasar. Sehingga sampai sekarang untuk melakukan ekspor pengerajin banyak bergantung dengan agen. Itu diakui Suandewi, ”Males belajarnya…, saya lebih suka menjadi pengrajin, ketimbang harus memasarkan barangnya langsung,” tuturnya. Hal senada juga diakui oleh Makmur. Ia lebih memilih menjadi pengerajin, ketimbang harus memperdalam ilmunya mengenai ekspor, ”Saya kurang taulah yang begituan, lebih nyaman jadi pengerajin aja” aku Ancik, sapaan akrabnya. Pengerajin Bali yang notabenenya usaha kecil menengah, lebih memilih melakoni pekerjaan yang ia senangi ketimbang harus mempelajari hal baru yang lebih sulit. ”Itulah pengrajin Bali, segini saja udah cukuplah… suka merendah tidak mau terlihat menonjol, sebenarnya kalau bisnis kan tidak boleh begitu” terang Darmaja.

Layaknya telur di ujung tanduk, masalah ekspor harus segera ditanggulangi dan perlunya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Salah satunya, dengan memberikan penyuluhan tentang kegiatan ekspor-impor. “Pemerintah seharusnya lebih gencar melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pengetahuan akan kegiatan ekspor-impor, agar pengerajin tidak terlalu tergantung pada agen. Pemahaman lebih lanjut dari pengrajin itu sendiri juga diperlukan untuk memuluskan usaha wirausaha mandiri,” harap Darmaja sembari tersenyum. (lan)

No comments:

Post a Comment