Disaat langit hitam berubah menjadi jingga, sang pekerja keras masih saja asyik berkutat dengan kreasinya . Entah kapan akan menikmati bunga tidur. Namun sayang amat disayang , emas yang didapat tidak seperti yang dibayangkan . Adilkah ?
Terkadang hasil kerja rodi semalaman hanya berbuah anggur hitam . Sangat kecil dan tak sebanding . Tentu tak adil . Beginilah yang banyak dirasakan wirausaha di Denpasar. Kerajinan yang dibuat dengan cucuran keringat hanya dihargai beberapa puluh ribu . Itupun berupa harga kotor . “Jujur saja , sebenarnya hasil yang saya dapat belum cukup untuk memenuhi hidup walaupun produk saya sudah termasuk ekspor,” aku seorang pengrajin tas karung beras, Wensislaus Makmur.
Sudah ekspor , kok belum sejahtera juga . Begitu pikir orang . Asumsi bahwa wirausaha yang bisa ekspor barang sudah pasti sejahtera , sebenarnya perlu diluruskan dalam masyarakat . Kembali lagi pada fakta . Tidak semua dan selamanya seorang wirausaha yang produknya “nampang” di luar negeri hidup sejahtera.
“Ya ini sebenarnya masalah kita yang belum bisa diatasi sampai saat ini . Masalah utama karena masih banyak pengrajin kecil kita bergantung pemasaran ekspornya melalui agent,” ungkap Ketua Jurusan Manajemen Universitas Warmadewa Fakultas Ekonomi , Gusti Ayu Sugiati, SE , MM . Tentu penikmat hasil ekspor yang sebenarnya adalah si eksportir . Di sini yang bertindak eksportir adalah agent . “Yang kaya , ya si agent . Pengrajin tetap segitu – gitu aja. Bahkan sama sekali tidak menikmati hasil ekspor . Barangnya aja dibeli dengan rupiah kok ” akunya.
Tak semata salah pengrajin memilih memasarkan lewat agent . Realita berkata , pengrajin kecil kekurangan modal , pendidikan , serta skill di bidang ekspor- impor . Meminimalisir dampak itu , Badan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) siap membantu . “UMKM meyediakan modal dan pendidikan khusus bagi pengusaha kecil di dalam meningkatkan kualitas barang dan menjadi seorang eksportir mandiri yang sukses nantinya tanpa agent.”, terang Gusti Ayu Sugiati, SE , MM . Sayang, hanya segelintir pengusaha kecil yang menikmatinya .
Akibat banyaknya batu sandungan inilah membuat pengrajin kecil buta arah. “Nggak tau juga sih sebenarnya rugi atau nggak pakek agent. Saya cuma tinggal buat apa yang di pesan, kurang tau dia jual berapa,” papar Makmur. Beginilah entrepreneur. Yang ada dipikirannya bagaimana menghasilkan suatu produk yang diminta agent, tanpa menghiraukan “presentase rupiah” yang mereka dapatkan. Sangat merugi, sebenarnya. “Saya dapat pendapatan kotor per sekali ngirimnya 2 – 3 juta dengan harga 50 ribu/pcs sampai 80 ribu/pcs,” Bagaimana dengan keuntungan bersihnya ? “Hanya sekitar 10 ribu – 15 ribu per pcs,” aku Makmur sembari tersenyum .
Kini kita memahami bagaimana sebenarnya seorang entrepreneur sejati menjalani hidupnya. Kerja keras anti berpangkutangan, menjadi moto hidup. Mereka tidak memikirkan seberapa besar seseorang menghargai kreativitas dan inovasi mereka. Bagaimana cara berkreasi lebih giat dan memuaskan konsumenlah prioritas utama . Namun, tetap saja ini tidak adil.
No comments:
Post a Comment