madyapadma

madyapadma
my first teacher in journalistic

Saturday, September 18, 2010

“Canang” Untuk Masa Depan

Bali merupakan sebuah pulau dengan nilai budaya yang tinggi. Selain merupakan warisan turun temurun, budaya saat ini digunakan sebagai daya tarik. Salah satu daya tarik itu adalah ritual persembahyangan.


Ritual ini sangatlah menarik bagi para pelancong. Selain ritual itu sendiri, tentu yang diperhatikan ialah sarana ritual atau di sebut “upakara”. Upakara merupakan sarana persembahyangan umat Hindu. Upakara itu pun merupakan suatu warisan turun temurun. Tidak ada yang tahu bagaimana atau dimana upakara itu pertama muncul. Karena merupakan suatu warisan, otomatis cara membuatnya pun sudah ada sejak dulu. Kita tidak boleh asal dalam membuat upakara, karena menurut kepercayaan umat Hindu, upakara tersebut memiliki kekuatan magis.


Selain itu upakara juga merupakan penghubung antar manusia, lingkungan dan Tuhan atau dalam Agama Hindu disebut Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha mengatur tentang tiga faktor penting di dunia, yaitu hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam atau lingkungan dan manusia dengan sang pencipta atau Tuhan. Bila ketiga faktor itu berjalan sesuai jalur, maka akan terjadi keseimbangan di dunia. Ketiga faktor tersebut juga mendukung satu sama lain.

Namun, remaja sekarang yang seharusnya meneruskan budaya itu seakan mengabaikannya. Mereka enggan untuk membuat upakara. Jangankan untuk membuat, untuk mempelajarinya saja mereka “ogah”. Jangankan upakara untuk upacara besar, upakara sehari-hari seperti “canang” pun banyak yang tidak bisa.


Bisa dilihat pada tabel di samping, presentase remaja yang bisa membuat canang lebih sedikit dibandingkan remaja yang tiak bisa. Dari sana kita bisa melihat bahwa, remaja sekarang kurang mem-perhatikan kebudayaannya. Selain itu, kebanyakan dari mereka memilih ragu-ragu karena masih belajar dan belum sepenuhnya bisa. Jadi di sini dapat dilihat perbedaan yang cukup signifikan antara remaja yang bisa da tidak bisa membuat canang.

Kebanyakkan dari mereka berpikir, “biar saja orang yang lebih tua melakukannya, atau beli saja”. Bila semua remaja memiliki pikiran seperti itu, siapa yang akan meneruskan budaya itu 30 atau 40 tahun lagi? Akankah budaya itu terjebak dalam ruang dan waktu, tanpa diketahui? Akankah budaya itu mati seiring menghilangnya orang-orang yang “ajeg Bali”? Semua ini seakan menjadi sebuah fenomena dimana banyak wisatawan yang menggandrungi budaya tersebut, namun masyarakat lokal terlihat enggan untuk melestarikannya.

Fenomena ini didasarkan atas sikap acuh remaja terhadap budaya Bali. Globalisasi selalu menjadi kambing hitam atas kemunduran ini. Padahal, bila kita bercermin, semua ini tergantung pada diri sendiri. Kitalah yang mengatur globalisasi, bukannya globalisasi yang berbalik mengatur kita. Maka dari itu, bila ada yang berkata, ini semua akibat efek globalisasi, itu tidak sepenuhnya benar. Itu juga akibat remaja terlalu terbuka terhadap globalisasi itu sendiri. Coba saja remaja lebih selektif dalam menentukan pilihan, maka baik budaya maupun globalisasi bisa berjalan satu sama lain tanpa harus “membunuh” yang satu.

Sikap malas belajar menjadi salah satu dopping yang membuat budaya Bali makin tenggelam. Penyakit siswa inilah yang berperan besar dalam punahnya sebagian besar budaya Bali. Sifat ini seakan sudah menyatu dengan darah. Remaja seakan tidak memperdulikan budaya yang telah membuat nama Bali dikenal di mata dunia. Mereka lebih memilih untuk melakukan tindakan yang tidak berguna dibandingkan belajar membuat canang. Itulah potret remaja zaman milenium.

Bila hal tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin budaya Bali yang di agung-agungkan lenyap di telan waktu. Itu semua akan memunculkan fenomena lain dimana budaya Bali yang dikenal seantero dunia, hilang dimakan zaman. Kita yang awalnya dikenal sebagai pulau dengan segudang budaya, hanya akan menjadi penghias indahnya muka bumi. Apakah ini yang kita inginkan? Pastinya tidak. Apa yang harus kita lakukan?

Sektor awal yang perlu direvisi ialah pengertian budaya itu sendiri. Dinas Budaya dibantu komunitas-komunitas budaya perlu mensosialisasikan budaya lokal agar para remaja mengenal kebudayaan mereka. Hal ini perlu dilakukan secara intensif, jika tidak, kegiatan ini hanya akan menjadi angin lalu. Dengan kegiatan ini, setidaknya remaja akan lebih mengenal kebudayaan mereka. Dan lambat laun akan tertarik.

Peran Pemerintah daerah pun tidak kalah pentingnya. Pemerintah daerah dengan otonominya mesti menggalakkan program masyarakat berbudaya. Bila perlu, adakan kegiatan budaya dalam format lomba, agar remaja tertarik mengikutinya. Hal ini harus dilakukan sejak dini mengingat kurangnya minat remaja terhadap budaya, terutama budaya upakara yang mesti dikuasai. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan rasa tertarik, pemerintah harus melaksanakannya sejak dini.

Tentu yang paling penting ialah dukungan orangtua. Orangtua mesti mengajarkan kebudayaan itu kepada anaknya sejak dini agar muncul rasa ketertarikkan dalam diri si anak. Apabila rasa tertarik sudah ada dalam diri si anak, maka selamanya ia akan tertarik. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan rasa tertarik sejak dini.

Bila semua berjalan dengan baik, maka tidak akan ada masalah dengan kebudayaan Bali. Tidak akan ada kata “mati” bagi budaya ini.

Bila remaja sudah mengerti tentang kebudayaan itu, para orangtua akan tenang bila nanti ia telah tiada. Setidaknya beliau yakin kebudayaan itu akan terus berlanjut dan dilestarkan oleh orang yang tepat. Karena itu, mari kita sebagai generasi penerus pertahankan dan lestarikan budaya Bali demi masa depan yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment