madyapadma

madyapadma
my first teacher in journalistic

Saturday, September 18, 2010

Subak, Maha Karya Yang Terlupakan

Merangkak dan tertatih-tatih. Itulah kesan awal Ida Ayu Gede Retika Guntari ketika melihat sistem pertanian di desanya, Kemasan, Klungkung.

Ketika itu, dia berjalan menuju hamparan sawah yang terletak tepat dibelakang pekarangannya. Disapu habis pemandangan di sekeliling persawahan itu. Namun matanya tertegun melihat suatu fenomena yang terjadi. Di salah satu petak terlihat genangan air, sedangkan di lain petak, kering kerontang.

“Pengairannya tidak merata” itulah jawaban Dayu Tika singkat (sapaan akrabnya) mengenai fenomena tersebut.

Bila dicermati sesaat, tak ada yang nampak salah. Namun, bila ditelusuri, semua akan tampak jelas. Penyumbatan terjadi dimana-mana. Serta sistem yang tidak dikelola dengan baik. Semua itu seakan menyatu membentuk sebuah “kesalahan” yang tak kasat mata.

Sistem pengairan di Bali atau Subak yang dahulu menjadi tulang punggung, sekarang mulai dilupakan. Subak yang pernah membuat nama Bali dikenal, sekarang hanyalah kenangan masa lalu. Tidak ada yang spesial lagi. Lebih parah lagi, subak mulai ditinggalkan oleh para petani Bali.

Alih fungsi lahan menjadi salah satu kambing hitam. Sekarang banyak investor yang berlomba membeli lahan penduduk lokal untuk membuat vila ataupun resort. Penduduk lokal yang tergiur “kenikmatan sesaat” pun tak pikir panjang untuk menjual lahannya. Uang menjadi lebih berharga dibandingkan nasib anak cucu mereka.

“Masyarakat Bali cenderung berpikir instan, mendapat uang tanpa harus susah payah kerja. Tak ada yang memikirkan nasib mereka di kemudian hari”, ungkap salah seorang Redaktur koran harian Bali Post, I Nyoman Wirata, menanggapi tentang alih fungsi lahan di Bali.

Subak dewasa ini tak lagi setangguh dulu. Hanya beberapa daerah yang memanfaatkan jasanya. Itu pun tidak utuh. Melainkan hanya sebagai pelengkap. “subak mulai ditinggalkan karena pertanian sudah tidak lagi memberi penghidupan yang layak, jadi seiring mengikisnya lahan pertanian, subak pun perlahan mulai menghilang”, lanjut Wirata.

Kebanyakan masyarakat Bali sekarang mencoba mengais keuntungan di bidang pariwisata. Seperti penginapan, hotel maupun restaurant. Meski mereka tidak mempunyai skill di bidang itu. Pertanian sendiri yang merupakan tulang punggung buyut kita, ditinggalkan begitu saja. Terlebih di perkotaan. Sawah sudah mulai hilang digantikan bangunan nan megah.

Sistem pertanian di Bali telah banyak mengalami perubahan. Tidak seperti dulu, pertanian tidak lagi diperhitungkan. Pertanian di Bali sekarang hanya menjadi penghias nama agraris yang disandang Indonesia. Tak lebih. Bahkan petani sendiri pun tidak ingin anaknya kelak menjadi petani. Itu menunjukkan bahwa petani sendiri menyadari bahwa pertanian tidak lagi memberi masa depan yang baik.

Vila dan resort pun telah menyingkirkan ladang sawah. Tak pelak, itu menjadi pukulan bagi pertanian di Bali, khususnya. Terlihat bahwa krama Bali sudah tidak lagi memperhitungkan lahan pertanian. Sekarang, sektor yang dilihat memberi keuntungan adalah pariwisata. Maka dari itu, mereka semua beralih profesi, meski tidak mempunya kemampuan di bidang pariwisata. Mereka hanya berpatok pada keberhasilan segelintir orang.

Apakah itu yang ita inginkan? Tentu tidak. Subak yang merupakan warisan hilang di telan waktu, sedangkan pertanian mulai memudar. Kita seharusnya bisa membuat pertanian kita berjaya lagi layaknya 30 tahun lalu. Dengan bantuan subak tentunya. Bila dulu itu berhasil, kenapa sekarang tidak?

No comments:

Post a Comment