Masalah budaya
di Indonesia memang sudah menjadi masalah yang pelik. Sejak sekian lama,
Indonesia memang dikenal dengan kebudayaannya. Bahkan karena budaya, Indonesia
pun menjadi dilirik oleh Negara lain. Secara tidak langsung budaya itu telah mengharumkan
nama Indonesia di mata dunia.
Namun,
pemerintah sepertinya tak acuh dengan masalah Budaya yang terkesan “kuno”.
Namun ketika salah satu budayanya di akui oleh Negara lain, barulah kuping
pemerintah merah padam. Pemerintah terkesan lambat dan tidak perduli dengan
kebudayaannya sendiri. Peran Kembudpar pun nihil. Dari sekian banyak kebudayaan
dan kesenian yang dimiliki Indonesia, yang telah memiliki hak paten hanya
sebagian kecil saja.
Tak ayal ini
merupakan kemunduran bagi bangsa yang sedang tumbuh ini. Selain faktor
pemerintah yang terkesan lamban, ada beberapa lagi faktor yang mempengaruhi
masalah kebudayaan di Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan dalam artikel
“Budaya “Tercemar”, Siapa yang Salah?”, faktor globalisasi juga ikut peran
dalam polemic kebudayaan ini.
Globalisasi yang
memang ditakutkan akan menggeser kebudayaan bangsa, dapat masuk ke Indonesia
dengan mudah. Semakin lama hal itu akan semakin menggusur budaya lokal
Indonesia. Contoh untuk hal ini dapat kita lihat pada masyarakat keraton
Indonesia. Dalam dua abad terakhir tata masyarakat kerajaan mulai memudar.
Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan
uang. Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh
semangan individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan. Mitos dan agama digeser
sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan oleh
nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi seniman-cendekiawan
istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi seni-budaya istana.
Hal itu semakin
diperparah dengan kaum muda yang “enggan” melestarikan kebudayaan Indonesia.
Itu menjadi nilai min di tengah morat marut pemerintah dalam menangani hal ini.
Belum lagi masalah yang sempat menampar muka aparat pemerintah, yaitu pengakuan
akan budaya Indonesia oleh Negara serumpun, Malaysia.
Beberapa saat
kasus ini sempat menjadi topik hangat hampir di seluruh televisi swasta. Demo
pun terjadi di berbagai tempat mengecam sikap Negara Malaysia. Pemerintah pun
cepat tanggap akan masalah itu. Ada beberapa nama kebudayaan yang diakui oleh
Malaysia, antara lain angklung dari Jawa Barat, lagu daerah “Rasa
Sayang-sayange” yang berasal dari Maluku, serta “Reog Ponorogo” dari Jawa Timur.
Namun seiring berjalannya waktu, masalah itu layaknya debu di padang pasir,
menghilang ditumpuk berbagai masalah yang terjadi di Indonesia.
Ini pun memberi
suatu pertanyaan, apakah budaya itu harus di akui oleh Negara lain dulu baru
mendapat perhatian pemerintah? Pemerintah harus tegas dalam menjaga dan
melestarikan kebudayaan indonesia dengan cara membuat peraturan perundangan
yang bertujuan untuk melindungi budaya bangsa. Dan jika perlu pemerintah harus
mematenkan budaya-budaya yang ada di Indonesia agar budaya-budaya bangsa tidak
jatuh ke tangan bangsa lain. Selain itu, yang terpenting adalah penanaman nilai
kebudayaan pada generasi muda sejak dini. Karena tak dapat dipungkiri, generasi
mudalah yang akan melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia kedepannya. Kalau
bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan budaya bangsa.
No comments:
Post a Comment