madyapadma
Sunday, September 26, 2010
Teen, Next Generation, New Expectation
These days, along walked times, our culture is begin to disappear. It’s because most of the teenagers are shy at studying our own culture. They said our culture is ancient and feel ashamed about it. And they start to leave it.
But occurrence lately, the case with Malaysia, makes the Indonesian people realize. The teenagers, most student, are carped that occurrence. They begin to confess the culture, which is confessed by Malaysia, as their culture. It does generate a dilemma. Is that necessary an occurrence to makes our teenagers esteem their own culture?
The occurrence with Malaysia, which is confess Indonesian diversity (such as; Pendet Dance, Reog Ponorogo, etc), is don’t fully Malaysia fault. Indonesia government also have fault. The government isn’t seriously taken care of our culture. If something happen, like occurrence with Malaysia, then government act. If nothing happen, the government is totally quite.
Is not fair if we blame all the fault to the government. The people also wrong. Just a few which truly care about Indonesian culture. Another else only give attention when there’s a “big” occurrence happened. Or we can say just spurious attention.
Here, teen act is fully needed. As the young generation and also next generation, teenagers have to protect their own diversity, in this case are culture. The teenagers can’t disregard the responsibility to preserve their culture. The way to preserve our culture is learning the culture itself. It’s the only way. It’s not too hard remembering other country also want to imitate them, why can’t we study our own culture?
Another way is looking for patent of proprietary rights. In this case, culture proprietary right. If we have the patent right, there’s no way for another country to imitate one of our diversity.
Not only as the next generation of Indonesia, as young generation, they also had to consider about their own country. It will be useful when they grew up and be one of the leaders in this country. Because now days, the leaders are lack of nationalism. They just want to enrich their self without though about the people who chose them.
If teenagers are intention to preserve their culture, there’s no chance for another country to imitate them. Most of the teenagers will fight for their right. So, why don’t we give a chance for the younger to act? (utm)
Saturday, September 18, 2010
Multikultur, Perlukah Toleransi ?
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Bali berkembang menjadi masyarakat yang multikultur. Bali tidak lagi menjadi milik orang Bali saja, melainkan milik bangsa, bahkan milik dunia. Tapi, meskipun Bali telah berkembang menjadi menjadi masyarakat yang heterogen, penduduk agama Hindu tetap mendominasi.
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan Bali, persentase pemeluk agama Hindu 67,94 %, Islam 23,03 %, Kristen 2,24 %, Protestan 4,87 % dan Buddha 1,97 %. Data itu menunjukkan agama Hindu tetap mendominasi, tapi kita juga melihat perkembangan agama lain, diantaranya Islam dan Kristen.
Baliu merupakan desa dunia, tujuan wisata dunia yang datang dari berbagai belahan bumi, membawa begitu banyak kepentingan yang dilakukan di Bali. Dengan adanya berbagai pelaku budaya yang mendiami pulau ini, maka dalam mengekspresikan aspirasi atau kepentingan masing-masing, lambat laun akan terjad gesekan-gesekan budaya, ideologi, paham, bahkan akan terjadi pengeroposan budaya lokal.
Perbedaan kepentingan akan menimbulkan konflik-konflik sosial yang berakibat perpecahan masyarakat Bali. Ditambah dengan kejadian Bom Bali yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan mengatas namakan agama. Peristiwa tersebut seakan memprovokasi masyarakat terhadap suatu agama tertentu sebagai penyebab tragedi tersebut. Dan itu merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa saling curiga, yang tentu saja memicu terjadinya konflik antar agama di tengah masyarakat Bali yang multikultur.
Kecurigaan yang timbul dalam masyarakat akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap agama tertentu. Ada 2 hal yang mungkin menjadi penyebab ketidakpercayaan tersebut. Yang pertama, toleransi antar agama sudah dieliminasi dari kehidupan bermasyarakat. Toleransi merupakan sikap yang dapat membuat 2 hal yang berbeda menyatu. Bila toleransi sudah dtiadakan, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan beragama, akan terjadi suatu ketidakharmonisan dalam masyarakat itu.
Yang kedua adalah sikap keterbukaan. Bila suatu golongan masyarakat terbuka terhadap golongan masyarakat lain, maka akan timbul toleransi antar masyarakat. Keterbukaan dan toleransi merupakan 2 hal yang saling berkaitan. Bila sikap keterbukaan telah terjadi maka toleransi pun akan muncul.
Seperti apa yang terjadi di kampung Bugis dan kampung islam Kepaon dengan masyarakat Hindu di sekitarnya. Ditengah maraknya berbagai macam konflik sosial yang pada akhirnya sering mengatasnamakan agama, mereka selalu mengatasinya dengan keterbukaan dan kekeluargaan. Sikap toleransi tersebut disebabkan oleh nilai-nilai sejarah yang selau mereka jadikan pedoman dan diimplementasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Bial suatu masyarakat minoritas menjaga sikap keterbukaan terhadap masyarakat mayoritas, maka toleransi akan muncul. Hal tersebut akan menimbulkan keharmonisan dan kerukunan antar masyarakat. Untuk merealisasikan hal tersebut, perlu adanya sikap saling percaya dan menghargai antar masyarakat. Kepercayaa disini diperlukan untuk menghilangkan kecurigaan akibat perbedaan yang ada.
Bukannya perbedaan yang menyebabkan hal tampak indah???
Subak, Maha Karya Yang Terlupakan
Ketika itu, dia berjalan menuju hamparan sawah yang terletak tepat dibelakang pekarangannya. Disapu habis pemandangan di sekeliling persawahan itu. Namun matanya tertegun melihat suatu fenomena yang terjadi. Di salah satu petak terlihat genangan air, sedangkan di lain petak, kering kerontang.
“Pengairannya tidak merata” itulah jawaban Dayu Tika singkat (sapaan akrabnya) mengenai fenomena tersebut.
Bila dicermati sesaat, tak ada yang nampak salah. Namun, bila ditelusuri, semua akan tampak jelas. Penyumbatan terjadi dimana-mana. Serta sistem yang tidak dikelola dengan baik. Semua itu seakan menyatu membentuk sebuah “kesalahan” yang tak kasat mata.
Sistem pengairan di Bali atau Subak yang dahulu menjadi tulang punggung, sekarang mulai dilupakan. Subak yang pernah membuat nama Bali dikenal, sekarang hanyalah kenangan masa lalu. Tidak ada yang spesial lagi. Lebih parah lagi, subak mulai ditinggalkan oleh para petani Bali.
Alih fungsi lahan menjadi salah satu kambing hitam. Sekarang banyak investor yang berlomba membeli lahan penduduk lokal untuk membuat vila ataupun resort. Penduduk lokal yang tergiur “kenikmatan sesaat” pun tak pikir panjang untuk menjual lahannya. Uang menjadi lebih berharga dibandingkan nasib anak cucu mereka.
“Masyarakat Bali cenderung berpikir instan, mendapat uang tanpa harus susah payah kerja. Tak ada yang memikirkan nasib mereka di kemudian hari”, ungkap salah seorang Redaktur koran harian Bali Post, I Nyoman Wirata, menanggapi tentang alih fungsi lahan di Bali.
Subak dewasa ini tak lagi setangguh dulu. Hanya beberapa daerah yang memanfaatkan jasanya. Itu pun tidak utuh. Melainkan hanya sebagai pelengkap. “subak mulai ditinggalkan karena pertanian sudah tidak lagi memberi penghidupan yang layak, jadi seiring mengikisnya lahan pertanian, subak pun perlahan mulai menghilang”, lanjut Wirata.
Kebanyakan masyarakat Bali sekarang mencoba mengais keuntungan di bidang pariwisata. Seperti penginapan, hotel maupun restaurant. Meski mereka tidak mempunyai skill di bidang itu. Pertanian sendiri yang merupakan tulang punggung buyut kita, ditinggalkan begitu saja. Terlebih di perkotaan. Sawah sudah mulai hilang digantikan bangunan nan megah.
Sistem pertanian di Bali telah banyak mengalami perubahan. Tidak seperti dulu, pertanian tidak lagi diperhitungkan. Pertanian di Bali sekarang hanya menjadi penghias nama agraris yang disandang Indonesia. Tak lebih. Bahkan petani sendiri pun tidak ingin anaknya kelak menjadi petani. Itu menunjukkan bahwa petani sendiri menyadari bahwa pertanian tidak lagi memberi masa depan yang baik.
Vila dan resort pun telah menyingkirkan ladang sawah. Tak pelak, itu menjadi pukulan bagi pertanian di Bali, khususnya. Terlihat bahwa krama Bali sudah tidak lagi memperhitungkan lahan pertanian. Sekarang, sektor yang dilihat memberi keuntungan adalah pariwisata. Maka dari itu, mereka semua beralih profesi, meski tidak mempunya kemampuan di bidang pariwisata. Mereka hanya berpatok pada keberhasilan segelintir orang.
Apakah itu yang ita inginkan? Tentu tidak. Subak yang merupakan warisan hilang di telan waktu, sedangkan pertanian mulai memudar. Kita seharusnya bisa membuat pertanian kita berjaya lagi layaknya 30 tahun lalu. Dengan bantuan subak tentunya. Bila dulu itu berhasil, kenapa sekarang tidak?
“Canang” Untuk Masa Depan
Ritual ini sangatlah menarik bagi para pelancong. Selain ritual itu sendiri, tentu yang diperhatikan ialah sarana ritual atau di sebut “upakara”. Upakara merupakan sarana persembahyangan umat Hindu. Upakara itu pun merupakan suatu warisan turun temurun. Tidak ada yang tahu bagaimana atau dimana upakara itu pertama muncul. Karena merupakan suatu warisan, otomatis cara membuatnya pun sudah ada sejak dulu. Kita tidak boleh asal dalam membuat upakara, karena menurut kepercayaan umat Hindu, upakara tersebut memiliki kekuatan magis.
Selain itu upakara juga merupakan penghubung antar manusia, lingkungan dan Tuhan atau dalam Agama Hindu disebut Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha mengatur tentang tiga faktor penting di dunia, yaitu hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam atau lingkungan dan manusia dengan sang pencipta atau Tuhan. Bila ketiga faktor itu berjalan sesuai jalur, maka akan terjadi keseimbangan di dunia. Ketiga faktor tersebut juga mendukung satu sama lain.
Namun, remaja sekarang yang seharusnya meneruskan budaya itu seakan mengabaikannya. Mereka enggan untuk membuat upakara. Jangankan untuk membuat, untuk mempelajarinya saja mereka “ogah”. Jangankan upakara untuk upacara besar, upakara sehari-hari seperti “canang” pun banyak yang tidak bisa.
Bisa dilihat pada tabel di samping, presentase remaja yang bisa membuat canang lebih sedikit dibandingkan remaja yang tiak bisa. Dari sana kita bisa melihat bahwa, remaja sekarang kurang mem-perhatikan kebudayaannya. Selain itu, kebanyakan dari mereka memilih ragu-ragu karena masih belajar dan belum sepenuhnya bisa. Jadi di sini dapat dilihat perbedaan yang cukup signifikan antara remaja yang bisa da tidak bisa membuat canang.
Kebanyakkan dari mereka berpikir, “biar saja orang yang lebih tua melakukannya, atau beli saja”. Bila semua remaja memiliki pikiran seperti itu, siapa yang akan meneruskan budaya itu 30 atau 40 tahun lagi? Akankah budaya itu terjebak dalam ruang dan waktu, tanpa diketahui? Akankah budaya itu mati seiring menghilangnya orang-orang yang “ajeg Bali”? Semua ini seakan menjadi sebuah fenomena dimana banyak wisatawan yang menggandrungi budaya tersebut, namun masyarakat lokal terlihat enggan untuk melestarikannya.
Fenomena ini didasarkan atas sikap acuh remaja terhadap budaya Bali. Globalisasi selalu menjadi kambing hitam atas kemunduran ini. Padahal, bila kita bercermin, semua ini tergantung pada diri sendiri. Kitalah yang mengatur globalisasi, bukannya globalisasi yang berbalik mengatur kita. Maka dari itu, bila ada yang berkata, ini semua akibat efek globalisasi, itu tidak sepenuhnya benar. Itu juga akibat remaja terlalu terbuka terhadap globalisasi itu sendiri. Coba saja remaja lebih selektif dalam menentukan pilihan, maka baik budaya maupun globalisasi bisa berjalan satu sama lain tanpa harus “membunuh” yang satu.
Sikap malas belajar menjadi salah satu dopping yang membuat budaya Bali makin tenggelam. Penyakit siswa inilah yang berperan besar dalam punahnya sebagian besar budaya Bali. Sifat ini seakan sudah menyatu dengan darah. Remaja seakan tidak memperdulikan budaya yang telah membuat nama Bali dikenal di mata dunia. Mereka lebih memilih untuk melakukan tindakan yang tidak berguna dibandingkan belajar membuat canang. Itulah potret remaja zaman milenium.
Bila hal tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin budaya Bali yang di agung-agungkan lenyap di telan waktu. Itu semua akan memunculkan fenomena lain dimana budaya Bali yang dikenal seantero dunia, hilang dimakan zaman. Kita yang awalnya dikenal sebagai pulau dengan segudang budaya, hanya akan menjadi penghias indahnya muka bumi. Apakah ini yang kita inginkan? Pastinya tidak. Apa yang harus kita lakukan?
Sektor awal yang perlu direvisi ialah pengertian budaya itu sendiri. Dinas Budaya dibantu komunitas-komunitas budaya perlu mensosialisasikan budaya lokal agar para remaja mengenal kebudayaan mereka. Hal ini perlu dilakukan secara intensif, jika tidak, kegiatan ini hanya akan menjadi angin lalu. Dengan kegiatan ini, setidaknya remaja akan lebih mengenal kebudayaan mereka. Dan lambat laun akan tertarik.
Peran Pemerintah daerah pun tidak kalah pentingnya. Pemerintah daerah dengan otonominya mesti menggalakkan program masyarakat berbudaya. Bila perlu, adakan kegiatan budaya dalam format lomba, agar remaja tertarik mengikutinya. Hal ini harus dilakukan sejak dini mengingat kurangnya minat remaja terhadap budaya, terutama budaya upakara yang mesti dikuasai. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan rasa tertarik, pemerintah harus melaksanakannya sejak dini.
Tentu yang paling penting ialah dukungan orangtua. Orangtua mesti mengajarkan kebudayaan itu kepada anaknya sejak dini agar muncul rasa ketertarikkan dalam diri si anak. Apabila rasa tertarik sudah ada dalam diri si anak, maka selamanya ia akan tertarik. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan rasa tertarik sejak dini.
Bila semua berjalan dengan baik, maka tidak akan ada masalah dengan kebudayaan Bali. Tidak akan ada kata “mati” bagi budaya ini.
Bila remaja sudah mengerti tentang kebudayaan itu, para orangtua akan tenang bila nanti ia telah tiada. Setidaknya beliau yakin kebudayaan itu akan terus berlanjut dan dilestarkan oleh orang yang tepat. Karena itu, mari kita sebagai generasi penerus pertahankan dan lestarikan budaya Bali demi masa depan yang lebih baik.
Friday, September 3, 2010
Avril Lavigne (Indonesian Language)
Avril Ramona Lavigne (lahir di Kanada, 27 September 1984; umur 25 tahun), atau lebih dikenal dengan nama Avril Lavigne, adalah seorang penyanyi pop-punk, musisi, dan aktris asal Kanada. Pada tahun 2006, Majalah Bisnis Kanada memposisikannya dalam posisi ke-7 wanita Kanada paling mengagumkan di Hollywood, dan pada tahun 2007 dia memenangkan 9 nominasi Jabra Music Contest untuk kategori Best Band In The World, berdasarkan pilihan penggemar diseluruh dunia.
Hingga kini, Lavigne telah merilis 3 buah album studio, yaitu Let Go (2002) yang terjual lebih dari 19 juta diseluruh dunia dengan 9 juta di US, Under My Skin (2004) yang terjual lebih dari 12 juta diseluruh dunia dan 4 juta di US, dan The Best Damn Thing (2007) yang terjual lebih dari 9 juta dan 2,5 juta di US. Lavigne juga telah memproduksi tujuh singel internasional, diantaranya adalah "Complicated", "Sk8er Boi", "I'm with You", "Don't Tell Me", "My Happy Ending", "Girlfriend", dan "When You're Gone". Lavigne pun mengisi soundtrack untuk film Alice in Wonderland dengan lagu yang berjudul "Alice". Ia telah menjual rekaman album dan singelnya sebanyak kurang lebih 45 juta diseluruh dunia.
Profil
Avril Lavigne dilahirkan disebuah kota kecil, Napanee, Ontario dalam lingkungan keluarga Kristen. Kemampuan Avril dalam bernyanyi telah diketahui sejak ia berumur 2 tahun, ketika ibunya mengatakan bahwa Avril telah mulai ikut menyanyi lagu-lagu rohani di gereja. Keluarga Avril pindah ke Napanee saat dia berumur 5 tahun. Pada tahun 1998, Avril memenangkan kompetisi bernyanyi dalam tour resmi penyanyi Kanada, Shania Twain. Avril menyanyikan lagu Shania yang berjudul What Made You Say That.
Saat usia Avril menjelang 16 tahun, dia didaftarkan oleh Ken Krongard, seorang artis dan jurnalis, wakil dari perusahaan rekaman Arista. Ken mengundang Antonio "L.A." Reid untuk mendengarkan nyanyian Avril disebuah studio rekaman milik Peter Zizzo di New York. Selanjutnya Avril melengkapi kontrak album perdananya, Let Go.
Karier Musik
Album pertama Avril, Let Go, dirilis pada tanggal 4 Juni 2002 di Amerika Serikat, menduduki posisi 2 disana, dan menduduki posisi 1 di Australia, Kanada, Inggris, dan beberapa negara lainnya, dengan hits singel lagu "Complicated", "Sk8er Boi", "I'm with You", dan "Losing Grip". Album ini sangat sukses dan terjual lebih dari 17 juta diseluruh dunia, 7 juta nya terjual di US.
Ditahun 2004, tepatnya tanggal 25 Mei 2004, Lavigne merilis album kedua yang bertitel Under My Skin dengan hits singel lagu "Don't Tell Me", "My Happy Ending", "Nobody's Home, "He Wasn't", dan "Fall to Pieces". Album ini mengikuti jejak sukses dari Let Go, terjual 12 juta diseluruh dunia dan 4 juta terjual di US.
Album ketiga Avril, The Best Damn Thing dirilis pada tanggal 17 April 2007. Album ini cukup mengejutkan, karena Avril mengubah gaya bernyanyinya yang sebelumnya sangat kental dengan rock dan warna-warna gelap, menjadi lebih ceria dan berwarna pink. Album ini mempunyai hits singel lagu "Girlfriend", "When You're Gone", "Hot", dan "The Best Damn Thing".
Avril pun pernah beberapa kali mengisi soundtrack film, diantaranya adalah film Eragon dengan singel "Keep Holding On" dan yang terbaru, film Alice in Wonderland dengan singel berjudul "Alice".
Album Ke-4 : Goodbye Lullaby
Hanya berselang sebulan setelah menyelesaikan The Best Damn Tour, Avril memulai rekaman di studio rumahnya pada November 2008 dengan lagu "Black Star", yang ditulis untuk mempromosikan parfumnya dengan nama yang sama. Pada Juli 2009, 9 lagu telah direkam untuk album yang baru, lagu-lagu itu antara lain "Fine", "Everybody Hurts" dan "Darlin". Beberapa Lagu ditulis Avril saat remaja. "Darlin" adalah lagu kedua yang ditulis Avril saat berusia 15 tahun ketika tinggal di Napanee, Ontario. Avril menjelaskan albumnya bertemakan kehiduan. Dia mengatakan, "sangan mudah bagiku menulis lagu pop, tapi untuk duduk dan menulis tentang sesuatu yang sangat pribadi, sesuatu yang pernah kualami, itu sama sekali hal yang berbeda." Album ini diharapkan menjadi "kembalinya" gaya musik Avril. Denpan pengecualian untik single pertama, "What the Hell", Avril menggambarkan lagunya pada album ini berbeda dengan album sebelumnya: "Aku sudah dewasa sekarang, jadi aku berpikir untuk 'keluar jalur', ini bukan pop-rock lagi".
Pada Januari 2010, saat menulis dan merekam untuk album terbarunya, Avril bekerja sama dengan Disney pada film Alice in the Wonderland untuk membuat OSTnya, diinspirasi oleh film karya Tim Burton, Alice in the Wonderland. Dia menyampaikan pada eksekutif bahwa dia ingin menulis lagu untuk film tersebut. hasilnya adalah lagu "Alice", yang mana dimainkan pada akhir dan dimasukkan ke dalam Soundtrack, Almost Alice.
Pada 23 Februari, Avril tampil pada upacar penutupan olimpiade musim dingin Vancouver 2010, menyanyikan "My Happy Ending" dan "Girlfriend". Avril merasa terhormat bisa tampil dalam acara itu, tapi dia menyesalkan tidak dapat menonton pertandingan hockey antara U.S v Kanada. "Mereka tidak memperbolehkan kita keluar dari rombongan, untuk alasan keamanan."
Pada September, single ketiga Avril dari album debutnya, "I'm With You", dicontoh oleh Rihhana pada lagu "Cheers (Drink to That)", yang mana dimasukkan dalam album kelimanya, Loud.
Tanggal peluncuran Goodbye Lullaby dan single pertamanya diundur beberapa kali. Menanggapi keterlambatan ini, Avril mengatakan,"Aku menulis musikku sendiri, karena itu, memerlukan waktu lebih lama untuk merekamnya, karena aku punya kehidupan yang harus dijalani untuk mendapatkan inspirasi," dan itu dia mempunyai cukup materi untuk membuat dua rekaman. Pada November, Avril tampil di maxim, dimana dia memberitahu bahwa Goodbye Lullaby membutuhkan waktu dua setengah tahun untuk selesai, tapi dia mengatakan bahwa perusahaan rekamannyalah penyebab keterlambatan album ini, dia juga mengatakan bahwa album ini telah selesai sejak setahun yang lalu. Goodbye Lullaby dijadwalkan diluncurkan pada 8 Maret, "What The Hell", tampil perdana pada acara Dick Clark's New Year's Rockin' Eve pada 31 Desember.
Pada Desember 2010, penyanyi Amerika Miranda Cosgrove meluncurkan "Dancing Crazy": lagu yang ditulis oleh Avril, Max martin dan Shellback. Lagu ini juga diproduseri oleh Martin.
Karier Film
Avril tampil dalam film awalnya dalam film Over the Hedge sebagai pengisi suara, dimana film ini berdasarkan komik yang berjudul sama. Dia bekerja sama dengan William Shatner, Bruce Willis, Garry Shandling, Wnda Sykes, Nick Nolte dan Steve Carrel. Dia juga beraksi dalam film karya Richard Gere berjudul The Flock, sebagai kekasih dari seorang pelaku kejahatan, dan proyek ketiganya adalah Fast Food Nation, berdasarkan buku favoritnya.nAvril membuat sebuah batu bertulisan dalam film Going The Distance dan juga sempat tampil dalam sebuah episode film Sabrina, The Teenage Witch, menampilkan lagu "Sk8er Boi" dengan band-nya.
Pandangan Publik
Dalam halaman remi MySpace Avril, dia menjelaskan bahwa aliran musiknya adalah Pop/Punk/Rock, tetapi All Music Guide dan para pengamat musik lainya menjelakan bahwa aliran musik Avril adalah Punk, Punk-pop, Pop/Rock, Alternative Rock, Alterrnative Pop-rock, Modern Rock dan Post-Grunge. Avril mengatakan bahwa "I'm not punk". Avril juga menjelaskan kepada MTV Essential "I'm a rocker chic and not completely pop". Walaupun dia mengutip bahwa aliran musiknya adalah punk dan menggambarkan sebagai hasil pengaruh, aliran musiknya telah diberi nama umum dengan punk tahun 1970an.
Avril berbicara tentang penampilan barunya dalam sebuah wawancara pada bulan September 2006, dia menjelaskan "When I was in high school I was a little shit, hanging out with the guys, gettting drunk, getting in fights, playing hockey. My band were all guys, so I was only around guys, but when I got older I started being more of a chick. I broke out on the scence lookina like the 17-year-old that I was. And from then to now I look really different - but that's called growing up".
Kehidupan Pribadi
Dalam majalah Seventeen edisi Januari 2003, Avril mengakui "I was always snagging a bit of Matt's cheeseburger everynow and again". Juga mengatakan dalam wawancara setelahnya, dia mengatakan tidak memakan daging, tetapi tidak mengatakan bahwa dia vegetarian, suatu waktu seseorang bisa seja menemuinya sedang memakan daging.
Sebagai seorang remaja dia biasanya bermain di Restoran La Pizzera di Napanee, Ontario. Dalam Unser My Skin Bonez Tour Documentary, dia mengatakan bahwa pizza dengan olive topping adalah makanan kesukaannya, walaupun dia tidak biasa memakannya berlebihan, karena pizza dapat merusak suaranya. Sejak dia terkenal dan populer di dunia musik, restoran tersebut menyediakan pizza dengan nama Avril yang merupakan jenis pizza kesukaan Avril, dan disana ada buku tamu untuk penggemar yang akan dipilih oleh Avril ketika dia mengunjungi kerabat dan sahabatnya di kota dimana dia dibesarkan, Napanee.
Avril mempunyai tato bintang di pergelangan tangan kirinya yang merupakan salah satu gaya yang digunakan untuk album pertamanya. Tato tersebut dibuat bersamaan dengan tato milik Ben Moddy, teman Avril yang merupakan mantan personil band Evanescence. Akhir tahun 2004, Avril mempunyai tato berbetuk hati berukuran kecil dengan aksen bertulisan hurup 'D' di pergelangan tangan kanannya, dan merupakan bukti persembahan untuk kekasihnya Derick Whibley. Avril dan suaminya telah membeli sebuah rumah seharga 9.5 juta dollar Amerika di Bel-Air, yang mana rumah ini rumah peninggalan pasangan terkenal sebelumnya, Travis Barker dan Shanna Moakle. Rumah tersebut memiliki 8 kamar tidur, 10 kamar mandi, sebuah ruangan kerja, elevator, dapur kelas tinggi, dan garasi untuk 10 mobil.
Avril pernah digosipkan memiliki hubungan istimewa dengan mantan gitarisnya Jesse Colburn, tetapi menolak rumor tersebut, dan menjelaskan bahwa dia tidak memiliki hubungan apapun selain 'teman' dengannya maupun dengan anggota band lainnya sepeti Evan Taubenfeld atau siapapun. Walaupun begitu, Evan Taubenfeld masih menganggap bahwa Avril adalah sahabat terbaiknya disepanjang waktu dan seluas dunia, seperti yang dia katakan dalam halaman web resmi band "Q&A", band terakhirnya. Dalam majalah J-14, Avril bercerita tentang ciuman pertamanya terjadi saat dia berumur 14 tahun.
Tahun 2004, muncul sebuah berita bahwa Avril dan Hillary Duff bertengkar hebat. "I read that I was supossedly mad at my fans for dresssing like me" kata Avril dalam koran mingguan Quoted. "They quoted Hillary Duff saying 'Avril need to appreciate her fans and blah, blah, blah.' I'm like, excuse me? First off, it's not even true. I never said that, and second, who the hell cares what she has to say about my fans? Whatever, Hillary Duff such a goody-goody, such a mommy's girl". Baru-baru ini dilaporkan ada dramatisir antara mereka berdua di pesta Maxim di New York, dengan kejadian yang berbelit-belit dan rumit saat kedatangan mereka karena pelarian yang tak diinginkan. Avril berbicara sangat kasar, melompat secara kasar dan memaksa pihak penyelenggara pesta untuk meninggalkan tempat itu.
Bulan Februari 2004, dia mulai menjalin hubungan khusus dengan penyanyi Kanada Deryck Whibley, yang merupakan vokalis utama/gitaris pop punk band Sum 41. Pada tanggal 27 Juni 2005, Avril dan Deryck berwisata romantis ke Venice, Italia. Pasangan ini menikah disebuah gereja katholik dengan upacara pernikahan secara agamis dengan disaksikan sekitar 110 tamu undangan pada tanggal 15 Juli 2006, di sebuah lahan pribadi di California coastal city of Montecito. Saat ditanya apakah mereka siap untuk diberi keturunan, mereka mengatakan "not right now but somewhere down the road".
Namun ternyata sekarang hubungan mereka tidak abadi lagi, hal tersebut dikarenaan perselingkuhan yang terjadi antara Deryck dengan Hilton. Avril pun menggugat cerai.
Derma
Avril telah banyak melakukan aksi kepedulian, seperti Make Some Noisw, Amnesty International, Camp Will-a-way, music clearing minefield, U.S. Campaign for burma, Make-a-wish foundation, dan War Child. Dia juga memberi bantuan terhadap ALDO ads untuk para penyandang aids. Aldo menjual pernak-pernik dengan kata-kata "HEAR", "SEE", dan "SPEAK" dan sebuah tas edisi khusus yang hanya dijual di Aldo dept. store atau dujual secara Online. Aksi ini bertujuan untuk membantu para penyandang aids diseluruh dunia. Avril bekerja dengan Reverb, sebuah lembaga masyarakat, untuk tou nya pada tahun 2005. Avril juga menyanyikan lagu "Knocking On Heavens Door" untuk sebuah derma.
Fernando Torres
Fernando Torres, lahir pada 20 Maret 2984, mulai tertarik bermain sepak bola sejak kecil dan bergabung pertama kali bersama Parque 84 ketika berusia 5 tahun. Kakeknya sebenarnya tidak terlalu menyukai sepak bola, namun sangat bangga menjadi suporter Atetico Madrid, dan Torres juga mewarisi menjadi supporter klub dari kota madrid tersebut.
Sebenarnya Torres ingin menjadi penjaga gawang, seperti kakaknya. Namun, ketika berusia tujuh tahun, dia mulai bermain sebagai penyerang dalam Liga indoor besama klub di lingkungannya, Mario’s Holland. Tiga tahun kemudian, ketika berusia 10 tahun, dia mulai bermain dalam sepak bola sebenarnya bersama Rayo 13. Setelah penampilan yang menawan bersama klub barunya, dimana dia mencetak 55 gol, Torres menjadi satu dari tiga pemain Rayo 13 yang mencoba untuk bermain dengan Atlético Madrid. Dia membuat kagum pencari bakat dan saat berusia 11 tahun, dia bergabung bersama klub pada tahun 1995.