Disiplin selama ini merupakan gambaran SMA N 3 Denpasar. Betapa tidak, sejak didirikan pada 17 Januari 1977, predikat disiplin telah melekat pada salah satu sekolah favorit di Denpasar ini. Selama beberapa dekade, kedisiplinan sekolah berjuluk Trisma ini menjadi salah satu daya tarik di masyarakat.
Kedisiplinan di SMA N 3 Denpasar atau yang biasa disebut Trisma memang tak perlu diragukan. Banyak kalangan masyarakat menggelontarkan pujian untuk hal yang satu ini. Para alumninya bangga akan penegakan kedisiplinan di Trisma. Mereka percaya kedisiplinan itulah yang membuat mereka berhasil di masyarakat.
Penegakan kedisiplinan di Trisma memang terkenal ketat. Para guru setiap pagi akan turun ke lapangan untuk mengawasi siswa-siswanya yang melanggar. Tak tanggung-tanggung, sanksinya pun akan langsung diberikan saat itu juga. Salah satu aturan yang terkenal ialah aturan yang melarang siswa-siswanya membawa sepeda motor. Karena aturan inilah Trisma sempat menjadi primadona di Denpasar. Selain itu, para siswa pun dilarang membawa alat komunikasi atau handphone (HP).
Seiring perkembangan zaman, kedisiplinan itu pun mulai luntur. Penegakan kedisiplinan berangsur-angsur melemah, seakan ada intervensi dari dalam. Aturan yang dulu sempat membuat Trisma dipandang, sekarang hanya berupa tulisan di atas kertas. Tak ada yang mengindahkan. Aturan “dilarang membawa sepeda motor” pun di cabut saat Trisma genap berusia tiga dasa warsa. Hal tersebut tak pelak membuat telinga beberapa alumni Trisma panas. Mereka menganggap Trisma di usianya yang semakin dewasa, malah mengalami kemunduran.
Disiplin yang merupakan ciri khas Trisma sekarang hanya berupa anggapan. Masyarakat memang masih mengenal Trisma disiplin, namun mereka tidak menyadari pengeroposan kedisiplinan dalam tubuh Trisma.
Bila dibandingkan dengan sekolah lain di Denpasar, SMA N 3 Denpasar merupakan sekolah yang disiplin. Namun bila dibandingkan dengan Trisma dahulu, kedisiplinan Trisma sekarang jauh tertinggal. Pengeroposan kedisiplinan jelas dirasakan oleh guru yang mengenal Trisma dari awal terbentuknya. Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan kedisiplinan. Bila siswa bergaul di lingkungan yang disiplin, maka secara tidak langsung ia pun akan disiplin. Namun, bila siswa bergaul dengan orang-orang yang tidak disiplin, maka ia pun akan menjadi tidak disiplin, bahkan cenderung berontak. Disini, peran keluarga sangat penting untuk mengarahkan anaknya.
Selain itu, disiplin juga datang dari dalam diri sendiri. Jadi kitalah yang membuat diri kita disiplin, bukan orang lain. Orang lain hanya sebagai perantara yang mengajarkan kedisiplinan. Kitalah yang memutuskan akan menerapkan kedisiplian itu atau tidak. Jadi diperlukan suatu kesadaran dari dalam diri sendiri untuk menjadi disiplin. Bila tak ada kesadaran, meski kita di ajarkan tata cara kedisiplinan setiap hari, tak akan ada artinya.
Kedisiplinan merupakan sikap patuh akan aturan. Jadi mereka yang disiplin akan mentaati aturan yang berlaku. Bagi mereka yang tidak disiplin, akan mencoba untuk “mengalahkan” aturan. Mereka secara tidak langsung membuat aturan mereka sendiri, yang tentu saja bersimpangan dengan aturan yang berlaku. Hal itu mengakibatkan, para siswa menjadi kurang menghormati guru mereka. Mereka merasa bahwa diri merekalah paling benar.
Penurunan kedisiplinan juga berdampak pada pola prilaku siswa. Hal tersebut dapat dihindari dengan menanamkan nilai-nilai kedisiplinan tersebut sejak usia dini. Karena, semakin dewasa, mereka akan semakin sulit menerima nilai-nilai tersebut. Bila kedisiplinan itu sudah tertanam sejak dini, maka sampai dewasa pun akan tetap terjaga.
Selain itu, para guru juga harus lebih memperhatikan anak murid mereka. Hal itu dapat direalisasikan dengan melakukan sidak (inspeksi mendadak) secara rutin. Bila ada yang melanggar, beri teguran atau langsung beri sanksi bila keterlaluan. Bila tidak, maka siswa akan merasa dibebaskan dan lama kelamaan akan semakin menjadi-jadi.
Apakah kita ingin SMA N 3 semakin terpuruk ??? (utm)
No comments:
Post a Comment