Global warming is an environmental issue that affects everyone in the world. Rising temperatures and changing climate patterns have reached every corner of the world and without a dedicated effort they will continue to affect every nook and cranny of the Earth and everyone that lives in them. Sadly few people truly understand climate change and global warming, so few people are able to act efficiently to stop it.
Global warming is a phenomenon by which temperatures are rising all over the world. In fact, the ten hottest years ever recorded have all occurred since 1990, and experts predict that in the next century average temperatures around the world will continue to rise. These rising temperatures are the result of a more general climate change, or literally the changes in the climate of a given area including changes in its average temperatures, wind patterns and amounts of rainfall. Taken together, climate change and global warming are the ingredients for an environmental disaster the likes of which the world has never seen.
Though some people may still debate the causes of global warming, scientists are now confident that greenhouse gases such as carbon dioxide and methane which released into the atmosphere heavily contribute to the problem. The United Nations has attempted to limit these harmful greenhouse gases with the Kyoto Protocol, a set of guidelines that asks countries to meet a target to reduce greenhouse gases to a level that will not interfere with the climate or cause further damage. Since signing the Kyoto Protocol, the United Nation's greenhouse gas emissions have indeed been reduced, but unfortunately there is still a long way to go.
In order to truly make a dent in global warming the United Nations must still cut their greenhouse gas emissions and reduced their carbon footprint to lower levels, so calling or writing to your local newspaper and stating your support for such a reduction is a great start to fighting climate and global warming. While you are contacting your local news paper, be sure to urge him to back a law that will also require greenhouse gas reduction each year – just for good measure.
On a smaller scale, you can also fight climate change and global warming in your own home. Lower you carbon footprint. Be sure to turn off the light and unplug electrical equipment when not in use. Reduce the number of spray product you use for personal care. Recycling as many items as you can everyday is another important step toward fighting global warming, as is using trains, boats or efficient cars when traveling rather than flying in order to limit carbon emissions from planes. Even with small step such as these you will be fighting the good fight and limiting your own carbon footprint, thus fighting global warming each and every day. No one could ask for more than that.
As we know, global warming made a lot of problem. Especially in a South and North Pole who damages could impact the entire world. If planet earth still in this position, the temperature will grow up. If planet earth getting hot, automatically both pole will melting. That’s the worst situation that could happen. If that situation become real, all countries who placed in lower ground, will drawn and disappear. So, if planet earth still likes this, in 10 years later, the populations in this world are getting down.
The other case, global warming also disturbs the people who lived in this planet. In the past, people don’t need to use a fan or Air Conditioner (AC). But look at now, almost all people who lived in the city used AC in their house or building. It tells us, that planet earth is getting hot. Not only pole, we also can feel it by our self. If we walked at the street in the middle of the day, we will feel heat. Don’t underestimating this case. If this happen over and over, we can hit skin cancer. So, we can take it easy, this case need an attention not only from government, but also people.
According the fact above, even small thing could help the planet earth. You don’t think you must do a big change to save the world, because with the smallest step, you can do a big change for world. Even you are teenager, do not stop you to act. We, as the new generation, have a responsibility to manage the world later. The most important things if you want to save the planet earth, you must though that you can. Do not care if some people jeer you. So, why don’t we start now!!! (utm)
madyapadma
Thursday, July 29, 2010
Wednesday, July 7, 2010
Remaja “bicara” Perubahan Lewat Film
Mengucapkan kata perubahan mungkin mudah. Tapi apakah semudah itu melakukannya ???
Remang-remang. Itulah suasana di kefe Vertigo, di bilangan plaza Semanggi, saat awarding night “A Documentary Film Competition ‘Think Act Change’ 2009” yang diadakan oleh The Body Shop. Acara ini merupakan suatu kompetisi yang melombakan film-film dokumenter garapan anak-anak SMA.
Acara yang berlangsung selama hampir empat jam, menampilan artis-artis nasional, layaknya Sherina, Marshanda, Soul ID, Melisa Karim dan masih banyak lagi. Selain itu, acara awarding ini juga dipandu oleh presenter ternama, VJ Ben serta Cici Panda.
Acara ini mengusung “perubahan” yang ditawarkan para sineas muda ini lewat sarana film. Jenis Film disini merupakan film documenter, dimana film dokmenter memaparkan realita yang terjadi di sekitar kita. Jadi film-film yang disini merupakan kejadian yang terjadi di sekitar kita, tanpa rekayasa.
Dalam acara yang bertajuk “Think Act Change 2009” ini, ada sepuluh film nominasi dari empat kota, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta serta Bali. Masing-masing film memiliki karakteristik yang berbeda. Ada tiga kategori besar yang diangkat dalam kompetisi ini, antara lain HIV/AIDS, Global Warming dan Kekerasan Pada Perempuan. “Dalam kompetisi ini, kita mengangkat masalah-masalah yang kita anggap sebagai masalah bersama. Seperti Global Warming, HIV/AIDS serta kekerasan terhadap perempuan yang masih kerap terjadi di Indonesia. Kita ingin menjadi wadah aspirasi remaja dalam melakukan perubahan. Dan disini bentuk realisasinya dengan membuat film dokumenter”, terang Martinus Kukuh, panitia dari The Body Shop Jakarta.
Kegiatan Think Act Change ini merupakan kali ketiga yang diadakan oleh The Body Shop sejak kali pertama pada 2007. Total, ada 500 siswa-siswi SMA dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali yang bersaing dalam kegiatan tahun ini. “Total yang ikut itu ada 500 peserta dari empat kota, ya meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dulu tahun 2007 pesertanya cuma 40 orang”, jelas Kukuh.
“Peningkatan jumlah peserta ini menunjukan kesadaran remaja semakin meningkat akan masalah-masalah di dunia khususnya di Indonesia, seperti HIV/AIDS, Global Warming dan kekerasan pada perempuan. Memang masalah ini sangat mengancam masyarakat Indonesia. Atas dasar inilah, The Body Shop bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, majalah Kawanku, dan Prambors mengadakan kompetisi film dokumenter ini” lanjut pria bertubuh tinggi besar ini.
Dalam kompetisi ini ada beberapa tahap penyeleksian. “Peserta berkelompok maksimal tiga orang. Pertama mereka mengirimkan ide film. Kemudian yang lolos seleksi akan di karantina. Pada tahap karantina ini mereka di berikan ilmu pembuatan film. Dan selanjutnya proposal film mereka di seleksi oleh juri, yang terpilih dapat memproduksi filmnya. Tetapi, yang tidak lolos di proposal boleh juga membuat film dokumenter serta masuk melalui jalur Free Entry” tambahnya.
“Yang lolos sampai tahap akhir ini (awarding), memang terbanyak berasal dari Bali”, aku CEO The Body Shop Indonesia, Suzy D. Hutomo. Bali memang finalis yang jumlahnya paling banyak di antara empat kota lainnya. Dari dua film nominasi HIV/AIDS SMA, keduanya berasal dari Bali. Dan dari empat film nominasi Global Warming SMA, dua film berasal dari Bali. “Total semua finalis ada 10 film, empat berasal dari Bali. Luar biasa”, imbuhnya.
“Mereka sangat kreatif dan hebat-hebat. Remaja Bali sangat antusias dalam melakukan perubahan, seperti tema kita, Empowering The Young Generation”, sanjungnya di tengah-tengah acara.
Ada beberapa kategori yang diperebutkan dalam ajang ini, antara lain The Best Film on HIV/AIDS, The Best Film on Violence Against Women, The Best Film on Globang Warming, The Best Music, Film terfavorit serta The Best Film.
Jakarta menempatkan diri sebagai pemenang dengan menyabet tiga kategori sekaligus, yaitu The Best Film On Violence Against Woman, The Best Music serta The Best Film. Selain itu, Bandung juga memperoleh penghargaan sebagai Film Terfavorite.
Bali juga memborong dua kategori sekaligus. Kedua team yang menyabet kategori itu berasal dari Ekstra Kurikuler Madyapadma, SMA N 3 Denpasar. Kategori pertama ialah film terbaik pada tema Global Warming. Mereka adalah Putu Harum Bawa, Kadek Juni Surya Artawan, dan Trisnandari. Kategori kedua yang direbut adalah film terbaik pada tema HIV/AIDS dengan anggota I Dewa Ayu Diah Cempaka Dewi, Syama Sara Jini Devi Dasi dan I Nyoman Agus Aryawan.
I Dewa Ayu Diah Cempaka Dewi tak pernah menyangka akan dapat naik ke panggung menerima trophy penghargaan. Melafalkan ucapan terima kasih pun tak pernah terlintas dalam benaknya. “Aku ga nyangka banget bisa menang dan naik ke atas panggung. Aku awalnya sempet pesimis soalnya. Yah, pokoknya seneng dah. Aku nggag lupa ngucapin terimakasih yang sebesaar-besarnya buat Tuhan, keluarga, narasumber, pembina kita dan teman-teman yang sudah ngedukung kita dari awal sampai sekarang. Makasi ya”, ungkapnya.
Lain halnya dengan pemenang film dokumenter kategori Global Warming, Putu Harum Bawa. “Aku harus optimis menang, soalnya menurutku, klo ga optimis ntar malah beneran kalah. Ya jadi kita ga boleh pesimis”, ujarnya tersipu.
Di balik keberhasilannnya, mereka berharap para sineas muda tak henti berkarya demi memajukan bangsa. ”Katakanlah perubahan, bila itu yang ingin dikatakan. Hargailah pertambahan usia kalian dengan bertambahnya kreatifitas, kita harus ngembangin kreatifitas kita, jangan sampai kebuang tanpa ada yang kamu berikan minimal buat dirimu sendiri”, pesan Ayu. (utm)
Remang-remang. Itulah suasana di kefe Vertigo, di bilangan plaza Semanggi, saat awarding night “A Documentary Film Competition ‘Think Act Change’ 2009” yang diadakan oleh The Body Shop. Acara ini merupakan suatu kompetisi yang melombakan film-film dokumenter garapan anak-anak SMA.
Acara yang berlangsung selama hampir empat jam, menampilan artis-artis nasional, layaknya Sherina, Marshanda, Soul ID, Melisa Karim dan masih banyak lagi. Selain itu, acara awarding ini juga dipandu oleh presenter ternama, VJ Ben serta Cici Panda.
Acara ini mengusung “perubahan” yang ditawarkan para sineas muda ini lewat sarana film. Jenis Film disini merupakan film documenter, dimana film dokmenter memaparkan realita yang terjadi di sekitar kita. Jadi film-film yang disini merupakan kejadian yang terjadi di sekitar kita, tanpa rekayasa.
Dalam acara yang bertajuk “Think Act Change 2009” ini, ada sepuluh film nominasi dari empat kota, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta serta Bali. Masing-masing film memiliki karakteristik yang berbeda. Ada tiga kategori besar yang diangkat dalam kompetisi ini, antara lain HIV/AIDS, Global Warming dan Kekerasan Pada Perempuan. “Dalam kompetisi ini, kita mengangkat masalah-masalah yang kita anggap sebagai masalah bersama. Seperti Global Warming, HIV/AIDS serta kekerasan terhadap perempuan yang masih kerap terjadi di Indonesia. Kita ingin menjadi wadah aspirasi remaja dalam melakukan perubahan. Dan disini bentuk realisasinya dengan membuat film dokumenter”, terang Martinus Kukuh, panitia dari The Body Shop Jakarta.
Kegiatan Think Act Change ini merupakan kali ketiga yang diadakan oleh The Body Shop sejak kali pertama pada 2007. Total, ada 500 siswa-siswi SMA dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali yang bersaing dalam kegiatan tahun ini. “Total yang ikut itu ada 500 peserta dari empat kota, ya meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dulu tahun 2007 pesertanya cuma 40 orang”, jelas Kukuh.
“Peningkatan jumlah peserta ini menunjukan kesadaran remaja semakin meningkat akan masalah-masalah di dunia khususnya di Indonesia, seperti HIV/AIDS, Global Warming dan kekerasan pada perempuan. Memang masalah ini sangat mengancam masyarakat Indonesia. Atas dasar inilah, The Body Shop bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, majalah Kawanku, dan Prambors mengadakan kompetisi film dokumenter ini” lanjut pria bertubuh tinggi besar ini.
Dalam kompetisi ini ada beberapa tahap penyeleksian. “Peserta berkelompok maksimal tiga orang. Pertama mereka mengirimkan ide film. Kemudian yang lolos seleksi akan di karantina. Pada tahap karantina ini mereka di berikan ilmu pembuatan film. Dan selanjutnya proposal film mereka di seleksi oleh juri, yang terpilih dapat memproduksi filmnya. Tetapi, yang tidak lolos di proposal boleh juga membuat film dokumenter serta masuk melalui jalur Free Entry” tambahnya.
“Yang lolos sampai tahap akhir ini (awarding), memang terbanyak berasal dari Bali”, aku CEO The Body Shop Indonesia, Suzy D. Hutomo. Bali memang finalis yang jumlahnya paling banyak di antara empat kota lainnya. Dari dua film nominasi HIV/AIDS SMA, keduanya berasal dari Bali. Dan dari empat film nominasi Global Warming SMA, dua film berasal dari Bali. “Total semua finalis ada 10 film, empat berasal dari Bali. Luar biasa”, imbuhnya.
“Mereka sangat kreatif dan hebat-hebat. Remaja Bali sangat antusias dalam melakukan perubahan, seperti tema kita, Empowering The Young Generation”, sanjungnya di tengah-tengah acara.
Ada beberapa kategori yang diperebutkan dalam ajang ini, antara lain The Best Film on HIV/AIDS, The Best Film on Violence Against Women, The Best Film on Globang Warming, The Best Music, Film terfavorit serta The Best Film.
Jakarta menempatkan diri sebagai pemenang dengan menyabet tiga kategori sekaligus, yaitu The Best Film On Violence Against Woman, The Best Music serta The Best Film. Selain itu, Bandung juga memperoleh penghargaan sebagai Film Terfavorite.
Bali juga memborong dua kategori sekaligus. Kedua team yang menyabet kategori itu berasal dari Ekstra Kurikuler Madyapadma, SMA N 3 Denpasar. Kategori pertama ialah film terbaik pada tema Global Warming. Mereka adalah Putu Harum Bawa, Kadek Juni Surya Artawan, dan Trisnandari. Kategori kedua yang direbut adalah film terbaik pada tema HIV/AIDS dengan anggota I Dewa Ayu Diah Cempaka Dewi, Syama Sara Jini Devi Dasi dan I Nyoman Agus Aryawan.
I Dewa Ayu Diah Cempaka Dewi tak pernah menyangka akan dapat naik ke panggung menerima trophy penghargaan. Melafalkan ucapan terima kasih pun tak pernah terlintas dalam benaknya. “Aku ga nyangka banget bisa menang dan naik ke atas panggung. Aku awalnya sempet pesimis soalnya. Yah, pokoknya seneng dah. Aku nggag lupa ngucapin terimakasih yang sebesaar-besarnya buat Tuhan, keluarga, narasumber, pembina kita dan teman-teman yang sudah ngedukung kita dari awal sampai sekarang. Makasi ya”, ungkapnya.
Lain halnya dengan pemenang film dokumenter kategori Global Warming, Putu Harum Bawa. “Aku harus optimis menang, soalnya menurutku, klo ga optimis ntar malah beneran kalah. Ya jadi kita ga boleh pesimis”, ujarnya tersipu.
Di balik keberhasilannnya, mereka berharap para sineas muda tak henti berkarya demi memajukan bangsa. ”Katakanlah perubahan, bila itu yang ingin dikatakan. Hargailah pertambahan usia kalian dengan bertambahnya kreatifitas, kita harus ngembangin kreatifitas kita, jangan sampai kebuang tanpa ada yang kamu berikan minimal buat dirimu sendiri”, pesan Ayu. (utm)
Keluarga, Motivator Terbaik
HIV/AIDS, siapa yang tidak mengetahui penyakit ini. HIV merupakan salah satu penyakit menular paling datakuti saat ini. Selain karena belum ditemukannya vaksin/ obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini, juga karena penularannya yang relative cepat. Umumnya, virus HIV ditularkan melalui hubungan seks dan penggunaan jarum suntik.
Di luar itu, terdapat hal yang lebih kompleks. Para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) seakan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu akibat dari stigma masyarakat tentang ODHA dimana ODHA selalu dianggap sampah masyarakat. Selain itu, stigma tersebut juga membuat ruang gerak ODHA untuk berekspresi menyempit. hal itu secara tidak langsung memenggal hak para ODHA untuk membuka diri.
Di sini, anggapan masyarakat tentang orang dengan penyakit AIDS menjadi momok bagi para ODHA. Masyarakat seakan menghakimi tanpa tahu apa itu HIV/AIDS. Mereka sudah terpengaruh oleh stigma yang selama ini berkembang di Masyarakat. Stigma bahwa ODHA adalah sampah masyarakat. Mereka tidak mau tahu apa yang dirasakan para ODHA. Mereka hanya berpikir sepihak.
Oleh karena diskriminasi lingkungan sekitarnya, banyak para ODHA yang lantas frustasi dan tenggelam dalam kesendirian. Mereka menganggap bahwa hidup mereka sudah tidak berarti lagi.
Dari beberapa kasus yang dicatat yayasan Bali Plus periode Januari sampai September 2009, 9 ODHA ditolak oleh keluarganya dari 3014 kasus. Rata-rata alasannya karena keberadaan ODHA tersebut dianggap aib bagi keluarga. Jadi, dukungan keluarga di sini sangat penting agar para ODHA merasa bahwa dia tidak sendirian.
Selama ini para ODHA selalu bergerak di bawah naungan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Di sana, mereka dapat mengekspresikan diri tanpa takut didiskriminasi. LSM di sini layaknya keluarga kedua bagi para ODHA. Di sini mereka dapat bertemu orang-orang yang juga sama dengan mereka. Jadi mereka lebih bisa mengerti satu sama lain.
Di sini, keluarga perlu memberikan perhatian lebih bagi anggota keluarganya yang terkena HIV/AIDS. Itu karena mereka yang terkena virus mematikan ini akan merasa hidup mereka sudah tidak lagi berarti. Maka dari itu, peran keluarga sebagai orang terdekat sangatlah penting untuk memberikan motivasi agar semangat hidupnya kembali.
Di luar itu, terdapat hal yang lebih kompleks. Para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) seakan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu akibat dari stigma masyarakat tentang ODHA dimana ODHA selalu dianggap sampah masyarakat. Selain itu, stigma tersebut juga membuat ruang gerak ODHA untuk berekspresi menyempit. hal itu secara tidak langsung memenggal hak para ODHA untuk membuka diri.
Di sini, anggapan masyarakat tentang orang dengan penyakit AIDS menjadi momok bagi para ODHA. Masyarakat seakan menghakimi tanpa tahu apa itu HIV/AIDS. Mereka sudah terpengaruh oleh stigma yang selama ini berkembang di Masyarakat. Stigma bahwa ODHA adalah sampah masyarakat. Mereka tidak mau tahu apa yang dirasakan para ODHA. Mereka hanya berpikir sepihak.
Oleh karena diskriminasi lingkungan sekitarnya, banyak para ODHA yang lantas frustasi dan tenggelam dalam kesendirian. Mereka menganggap bahwa hidup mereka sudah tidak berarti lagi.
Dari beberapa kasus yang dicatat yayasan Bali Plus periode Januari sampai September 2009, 9 ODHA ditolak oleh keluarganya dari 3014 kasus. Rata-rata alasannya karena keberadaan ODHA tersebut dianggap aib bagi keluarga. Jadi, dukungan keluarga di sini sangat penting agar para ODHA merasa bahwa dia tidak sendirian.
Selama ini para ODHA selalu bergerak di bawah naungan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Di sana, mereka dapat mengekspresikan diri tanpa takut didiskriminasi. LSM di sini layaknya keluarga kedua bagi para ODHA. Di sini mereka dapat bertemu orang-orang yang juga sama dengan mereka. Jadi mereka lebih bisa mengerti satu sama lain.
Di sini, keluarga perlu memberikan perhatian lebih bagi anggota keluarganya yang terkena HIV/AIDS. Itu karena mereka yang terkena virus mematikan ini akan merasa hidup mereka sudah tidak lagi berarti. Maka dari itu, peran keluarga sebagai orang terdekat sangatlah penting untuk memberikan motivasi agar semangat hidupnya kembali.
Tuesday, July 6, 2010
disiplin yang memudar
Disiplin selama ini merupakan gambaran SMA N 3 Denpasar. Betapa tidak, sejak didirikan pada 17 Januari 1977, predikat disiplin telah melekat pada salah satu sekolah favorit di Denpasar ini. Selama beberapa dekade, kedisiplinan sekolah berjuluk Trisma ini menjadi salah satu daya tarik di masyarakat.
Kedisiplinan di SMA N 3 Denpasar atau yang biasa disebut Trisma memang tak perlu diragukan. Banyak kalangan masyarakat menggelontarkan pujian untuk hal yang satu ini. Para alumninya bangga akan penegakan kedisiplinan di Trisma. Mereka percaya kedisiplinan itulah yang membuat mereka berhasil di masyarakat.
Penegakan kedisiplinan di Trisma memang terkenal ketat. Para guru setiap pagi akan turun ke lapangan untuk mengawasi siswa-siswanya yang melanggar. Tak tanggung-tanggung, sanksinya pun akan langsung diberikan saat itu juga. Salah satu aturan yang terkenal ialah aturan yang melarang siswa-siswanya membawa sepeda motor. Karena aturan inilah Trisma sempat menjadi primadona di Denpasar. Selain itu, para siswa pun dilarang membawa alat komunikasi atau handphone (HP).
Seiring perkembangan zaman, kedisiplinan itu pun mulai luntur. Penegakan kedisiplinan berangsur-angsur melemah, seakan ada intervensi dari dalam. Aturan yang dulu sempat membuat Trisma dipandang, sekarang hanya berupa tulisan di atas kertas. Tak ada yang mengindahkan. Aturan “dilarang membawa sepeda motor” pun di cabut saat Trisma genap berusia tiga dasa warsa. Hal tersebut tak pelak membuat telinga beberapa alumni Trisma panas. Mereka menganggap Trisma di usianya yang semakin dewasa, malah mengalami kemunduran.
Disiplin yang merupakan ciri khas Trisma sekarang hanya berupa anggapan. Masyarakat memang masih mengenal Trisma disiplin, namun mereka tidak menyadari pengeroposan kedisiplinan dalam tubuh Trisma.
Bila dibandingkan dengan sekolah lain di Denpasar, SMA N 3 Denpasar merupakan sekolah yang disiplin. Namun bila dibandingkan dengan Trisma dahulu, kedisiplinan Trisma sekarang jauh tertinggal. Pengeroposan kedisiplinan jelas dirasakan oleh guru yang mengenal Trisma dari awal terbentuknya. Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan kedisiplinan. Bila siswa bergaul di lingkungan yang disiplin, maka secara tidak langsung ia pun akan disiplin. Namun, bila siswa bergaul dengan orang-orang yang tidak disiplin, maka ia pun akan menjadi tidak disiplin, bahkan cenderung berontak. Disini, peran keluarga sangat penting untuk mengarahkan anaknya.
Selain itu, disiplin juga datang dari dalam diri sendiri. Jadi kitalah yang membuat diri kita disiplin, bukan orang lain. Orang lain hanya sebagai perantara yang mengajarkan kedisiplinan. Kitalah yang memutuskan akan menerapkan kedisiplian itu atau tidak. Jadi diperlukan suatu kesadaran dari dalam diri sendiri untuk menjadi disiplin. Bila tak ada kesadaran, meski kita di ajarkan tata cara kedisiplinan setiap hari, tak akan ada artinya.
Kedisiplinan merupakan sikap patuh akan aturan. Jadi mereka yang disiplin akan mentaati aturan yang berlaku. Bagi mereka yang tidak disiplin, akan mencoba untuk “mengalahkan” aturan. Mereka secara tidak langsung membuat aturan mereka sendiri, yang tentu saja bersimpangan dengan aturan yang berlaku. Hal itu mengakibatkan, para siswa menjadi kurang menghormati guru mereka. Mereka merasa bahwa diri merekalah paling benar.
Penurunan kedisiplinan juga berdampak pada pola prilaku siswa. Hal tersebut dapat dihindari dengan menanamkan nilai-nilai kedisiplinan tersebut sejak usia dini. Karena, semakin dewasa, mereka akan semakin sulit menerima nilai-nilai tersebut. Bila kedisiplinan itu sudah tertanam sejak dini, maka sampai dewasa pun akan tetap terjaga.
Selain itu, para guru juga harus lebih memperhatikan anak murid mereka. Hal itu dapat direalisasikan dengan melakukan sidak (inspeksi mendadak) secara rutin. Bila ada yang melanggar, beri teguran atau langsung beri sanksi bila keterlaluan. Bila tidak, maka siswa akan merasa dibebaskan dan lama kelamaan akan semakin menjadi-jadi.
Apakah kita ingin SMA N 3 semakin terpuruk ??? (utm)
Kedisiplinan di SMA N 3 Denpasar atau yang biasa disebut Trisma memang tak perlu diragukan. Banyak kalangan masyarakat menggelontarkan pujian untuk hal yang satu ini. Para alumninya bangga akan penegakan kedisiplinan di Trisma. Mereka percaya kedisiplinan itulah yang membuat mereka berhasil di masyarakat.
Penegakan kedisiplinan di Trisma memang terkenal ketat. Para guru setiap pagi akan turun ke lapangan untuk mengawasi siswa-siswanya yang melanggar. Tak tanggung-tanggung, sanksinya pun akan langsung diberikan saat itu juga. Salah satu aturan yang terkenal ialah aturan yang melarang siswa-siswanya membawa sepeda motor. Karena aturan inilah Trisma sempat menjadi primadona di Denpasar. Selain itu, para siswa pun dilarang membawa alat komunikasi atau handphone (HP).
Seiring perkembangan zaman, kedisiplinan itu pun mulai luntur. Penegakan kedisiplinan berangsur-angsur melemah, seakan ada intervensi dari dalam. Aturan yang dulu sempat membuat Trisma dipandang, sekarang hanya berupa tulisan di atas kertas. Tak ada yang mengindahkan. Aturan “dilarang membawa sepeda motor” pun di cabut saat Trisma genap berusia tiga dasa warsa. Hal tersebut tak pelak membuat telinga beberapa alumni Trisma panas. Mereka menganggap Trisma di usianya yang semakin dewasa, malah mengalami kemunduran.
Disiplin yang merupakan ciri khas Trisma sekarang hanya berupa anggapan. Masyarakat memang masih mengenal Trisma disiplin, namun mereka tidak menyadari pengeroposan kedisiplinan dalam tubuh Trisma.
Bila dibandingkan dengan sekolah lain di Denpasar, SMA N 3 Denpasar merupakan sekolah yang disiplin. Namun bila dibandingkan dengan Trisma dahulu, kedisiplinan Trisma sekarang jauh tertinggal. Pengeroposan kedisiplinan jelas dirasakan oleh guru yang mengenal Trisma dari awal terbentuknya. Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan kedisiplinan. Bila siswa bergaul di lingkungan yang disiplin, maka secara tidak langsung ia pun akan disiplin. Namun, bila siswa bergaul dengan orang-orang yang tidak disiplin, maka ia pun akan menjadi tidak disiplin, bahkan cenderung berontak. Disini, peran keluarga sangat penting untuk mengarahkan anaknya.
Selain itu, disiplin juga datang dari dalam diri sendiri. Jadi kitalah yang membuat diri kita disiplin, bukan orang lain. Orang lain hanya sebagai perantara yang mengajarkan kedisiplinan. Kitalah yang memutuskan akan menerapkan kedisiplian itu atau tidak. Jadi diperlukan suatu kesadaran dari dalam diri sendiri untuk menjadi disiplin. Bila tak ada kesadaran, meski kita di ajarkan tata cara kedisiplinan setiap hari, tak akan ada artinya.
Kedisiplinan merupakan sikap patuh akan aturan. Jadi mereka yang disiplin akan mentaati aturan yang berlaku. Bagi mereka yang tidak disiplin, akan mencoba untuk “mengalahkan” aturan. Mereka secara tidak langsung membuat aturan mereka sendiri, yang tentu saja bersimpangan dengan aturan yang berlaku. Hal itu mengakibatkan, para siswa menjadi kurang menghormati guru mereka. Mereka merasa bahwa diri merekalah paling benar.
Penurunan kedisiplinan juga berdampak pada pola prilaku siswa. Hal tersebut dapat dihindari dengan menanamkan nilai-nilai kedisiplinan tersebut sejak usia dini. Karena, semakin dewasa, mereka akan semakin sulit menerima nilai-nilai tersebut. Bila kedisiplinan itu sudah tertanam sejak dini, maka sampai dewasa pun akan tetap terjaga.
Selain itu, para guru juga harus lebih memperhatikan anak murid mereka. Hal itu dapat direalisasikan dengan melakukan sidak (inspeksi mendadak) secara rutin. Bila ada yang melanggar, beri teguran atau langsung beri sanksi bila keterlaluan. Bila tidak, maka siswa akan merasa dibebaskan dan lama kelamaan akan semakin menjadi-jadi.
Apakah kita ingin SMA N 3 semakin terpuruk ??? (utm)
Hening, Tekan Global Warming, Ciptakan Harmonisasi
Hening dan sunyi. Mungkin hal itulah yang partama terlintas ketika mendengar kata “nyepi”. Hari raya umat Hindu ini belakangan mejadi buah bibir di dunia internasional. Hal itu akibat kontribusi yang ditimbulkan oleh warisan kebudayaan yang berasal dari pulau Bali ini.
Hari raya Nyepi merupakan hari dimana seluruh umat Hindu di Indonesia tidak melakukan aktivitas apapun. Khusus di Bali, hari raya nyepi menjadi “hari hening” sehari. Tak ada satu kendaraan pun yang diperbolehkan berkeliaran. Tak ada suara, keribuatan, hanya keheningan. Itu dekenal sebagai Catur Brata Penyepian.
Akibat nyepi yang hanya dilaksanakan di Bali ini, pengaruhnya dirasakan sampai ke seluruh dunia. Seperti yang kita ketahui, dunia dewasa ini dilanda pemanasan global. Atmosfer semakin menipis akibat naiknya emisi gas CO2. Akibatnya, sinar UV matahari dapat masuk ke bumi, dan mengakibatkan Global Warming.
Bali secara tidak langsung mengurangi sumbangan emisi gas karbon melalui hari raya Nyepi. Hal itu memberi dampak positif terhadap perkembangan dunia. Melalui KTT UNFCC (United Nation for Climate Change) yang di laksanakan di Nusa Dua, hari raya Nyepi menginspirasi PBB untuk mencetuskan World Silent Day (WSD). World Silent Day atau Hari Hening Sedunia merupakan terusan dari usaha PBB untuk menekanan laju emisi gas karbon di dunia.
WSD mulai dikenalkan di dunia internasional melalui aktivis-aktivis lingkungan di seluruh dunia. WSD disepakati jatuh pada tanggal 21 Maret, dari pukul 10.00 sampai 14.00. Hal itu disambut baik oleh kalangan aktivis dunia serta para pakar lingkungan. Sekarang para aktivis itu berjuang untuk mendapatkan sepuluh juta tanda tangan untuk mengesahkan WSD.
Sambutan baik di dunia Internasional, ternyata tidak diikuti respon positif di dalam negeri. Meskipun merupakan warisan budaya turun temurun, Nyepi masih saja menimbulkan gejolak di dalam negeri. Beberapa pihak masih berpendapat bahwa Nyepi tidak ubahnya hari biasa. Tak ada yang istimewa.
Pendapat seperti itu memang banyak dijumpai di luar Bali. Mereka menganggap bahwa Nyepi hanya hari raya umat Hindu. Tidak lebih dari itu. Mereka tidak menyadari dampak positif yang ditimbulkan hari raya yang diperingati pertahunnya ini. Berawal dari ketidaktahuan, dijalankan dengan ketidakpedulian, diakhiri dengan penyesalan.
Namun, keadaan di Bali jauh berbeda. Belakangan, Bali jauh lebih kondusif. Hal itu karena umat yang lama hidup di Bali telah mengetahui serta menghargai warisan budaya itu sendiri. Saat hari raya Nyepi, mereka ikut melaksanakan brata, yaitu tidak keluar rumah. Rasa pengertian yang ditujukan oleh umat lain itu menunjukkan penghormatan mereka terhadap umat Hindu. Itu menyebabkan keharmonisan antar umat di Bali. Secara tidak langsung, hal itu juga ikut berperan dalam usaha menekan laju global warming di dunia. (utm)
Hari raya Nyepi merupakan hari dimana seluruh umat Hindu di Indonesia tidak melakukan aktivitas apapun. Khusus di Bali, hari raya nyepi menjadi “hari hening” sehari. Tak ada satu kendaraan pun yang diperbolehkan berkeliaran. Tak ada suara, keribuatan, hanya keheningan. Itu dekenal sebagai Catur Brata Penyepian.
Akibat nyepi yang hanya dilaksanakan di Bali ini, pengaruhnya dirasakan sampai ke seluruh dunia. Seperti yang kita ketahui, dunia dewasa ini dilanda pemanasan global. Atmosfer semakin menipis akibat naiknya emisi gas CO2. Akibatnya, sinar UV matahari dapat masuk ke bumi, dan mengakibatkan Global Warming.
Bali secara tidak langsung mengurangi sumbangan emisi gas karbon melalui hari raya Nyepi. Hal itu memberi dampak positif terhadap perkembangan dunia. Melalui KTT UNFCC (United Nation for Climate Change) yang di laksanakan di Nusa Dua, hari raya Nyepi menginspirasi PBB untuk mencetuskan World Silent Day (WSD). World Silent Day atau Hari Hening Sedunia merupakan terusan dari usaha PBB untuk menekanan laju emisi gas karbon di dunia.
WSD mulai dikenalkan di dunia internasional melalui aktivis-aktivis lingkungan di seluruh dunia. WSD disepakati jatuh pada tanggal 21 Maret, dari pukul 10.00 sampai 14.00. Hal itu disambut baik oleh kalangan aktivis dunia serta para pakar lingkungan. Sekarang para aktivis itu berjuang untuk mendapatkan sepuluh juta tanda tangan untuk mengesahkan WSD.
Sambutan baik di dunia Internasional, ternyata tidak diikuti respon positif di dalam negeri. Meskipun merupakan warisan budaya turun temurun, Nyepi masih saja menimbulkan gejolak di dalam negeri. Beberapa pihak masih berpendapat bahwa Nyepi tidak ubahnya hari biasa. Tak ada yang istimewa.
Pendapat seperti itu memang banyak dijumpai di luar Bali. Mereka menganggap bahwa Nyepi hanya hari raya umat Hindu. Tidak lebih dari itu. Mereka tidak menyadari dampak positif yang ditimbulkan hari raya yang diperingati pertahunnya ini. Berawal dari ketidaktahuan, dijalankan dengan ketidakpedulian, diakhiri dengan penyesalan.
Namun, keadaan di Bali jauh berbeda. Belakangan, Bali jauh lebih kondusif. Hal itu karena umat yang lama hidup di Bali telah mengetahui serta menghargai warisan budaya itu sendiri. Saat hari raya Nyepi, mereka ikut melaksanakan brata, yaitu tidak keluar rumah. Rasa pengertian yang ditujukan oleh umat lain itu menunjukkan penghormatan mereka terhadap umat Hindu. Itu menyebabkan keharmonisan antar umat di Bali. Secara tidak langsung, hal itu juga ikut berperan dalam usaha menekan laju global warming di dunia. (utm)
Three Kids
Once upon a time, there lived three kids. Their name is May, Glen and Tim. They lived in a small village across the town. Although there was nothing special in the village, they were happy. They are very excited kids. Anything they found, they will make it such an interesting thing.
One day, there’s a rumor said that there are some treasure in the forest. So many people tried to get it. But all of them failed. Glen and Tim heard the rumor. So they decided to check out the forest. But first, they went to May house. They invite her to come along with to the forest. May agreed. They walked along the street with singing and joking to each other. The forest was not too far from their village. After they walked a while, they get in front of the forest. It takes a while until they decide to get into it. “Are you sure about this Tim?” May asked. “Hmm… I’m quite sure, but if we cancel it, we’ll get vexed” said Tim. “Come on, what are you two discussed? It’s getting late. Let’s check it out” call Glen loudly.
Before they come in, an old man coming near them and said, “Son, if you mean to come into the forest, there some strange thing will happened, so you need to carry this”. The old men give them a string, stickpin and feather. The kids are disregarding what the old man said, but they take the three thing.
After a while, they come into the dark forest. In the first step, Glen felt weird of the forest. It the first time he felt scared. But there’s no matter to scare to. “It don’t make any sense” though him. So, Glen decided to not tell his friend about what his feel. They are walk, walk and walk. It almost three hours they walked, but don’t they get the treasure place yet. They even have no idea where they are.
“Tim, tell me that you know the way to get out from the forest” whispered May. “I’m afraid I don’t” said Tim slowly. Tim was very confused. Glen still tried to find the way home. But all they can see is just trees. It’s getting dark. They walk slowly in the middle of the forest. They are hungry, tired and scared. They are no more think about the treasure. They just want to get home as soon as possible.
Suddenly, the found a small house in the middle of the forest. They come into it. Glen try to peeping from the open windows. He see so many food on the table, with fruit around it. But, he don’t see a people. After a while, they decide to get in. Lucky them, the door is unlocked. Without any permission, they started to eat all food which serve in the table.
They eat over, over and over until they feel full filled. They haven’t stop yet, now they eat the food who serve around it. “Hhua, I can’t eat anymore” groan May. “I’m out, I can’t take this anymore” said Tim. They look liked happy. After all the food in the table is used up, they feel sleepy. In a while, they got sleep.
When they awake, they found their self in a cage. They are confused. Suddenly, an old woman come in. “Hhihihi, you enjoyed you dinner last night? It will be your last dinner, because you will be my dinner. Hhihii” said the old woman. They started panic. They don’t want to die this fast. “I don’t wanna die, I haven’t find the treasure yet” said Glen.
The old woman is setting the water in the bowl. She want to boil them. She even prepare the carrot. When she busy, the kids was thinking the way out from the cage. The cage is locked with padlock. Suddenly, what the old man said is passing by quickly. Glen takes what the old man gived to them. a string, stickpin and feather. Suddenly he had a plan. “I ever see people open the padlock with stickpin in the magic show. Glen is trying to do the same. He turning around the stickpin, “Click!” the padlock suddenly open. They were so happy. They exit the cage slowly. The old woman is still preparing the bowl. She doesn’t realize that the kids are escape.
But they realize, they don’t know the way home. Although they succeeding escape from the old woman, if they don’t know way home, they will day in the forest by wild animal. After a few, Tim has an idea. “How if we force the old woman to tell the way back” said him. “But, you think she would tell us? That mad woman. I don’t think so” continue May. “Hey, you’re right dude. We can use this” said Glen point to the feather. “What?”, May haven’t get the aim. “Just follow us, all gonna be okay” said Tim calm.
Those boys then get into the small house and catch the old woman who still busy with her bowl. The old woman is shock with surprised attack from the kids. She fell. Then, Tim shouted at the May who waited outside. May coming with the string. They fasten the old woman and place her in the desk. They open her shoes, and said “do you know the way out from this forest?”. The old woman answered, “of course, I live all my lived in this forest. Do you think I will tell you? Don’t kidding”. They suddenly release the feather. “I know you’ll answer so, so we prepare plan B, want to tell us?” said Glen at the same time he wagging the feather in the old woman feet palm. She laugh as loud as she can. She can take this suffer anymore. “Want to tell us now?” asked May. “wkwkwkwk, okay, okay, wkwkwkwkwk. I’ll tell you, just walk to the west, you eill find your village, stop it, wkwkwkwk, I’m serious, stop it, wkwkwkwk, please…” said the old woman rarely. “Okay, I’ll stop it. Thanks for the information old woman, hhahaha” said all of them gladly. “Hey, how about my fasten? You’re good kids, please release my fasten, pleaseeee ….” Said the old woman, but the kids is disregarding it.
They walked to the west like the old woman teol them. After a hours, they reach the end of the forest. They so happy and hug each other. They exit the forest and found the old man stayed there. “hey kids, you make it. You defeat the witch, congratulation” said the old man happily. “What, you know about the old woman? Why you don’t tell us?” asked Tim. “Yeah, I know, in the past, she was my wife. But we live each other some years ago. I want to tell you, but if even I tell you, you will still go on, don’t you?” said the old man. “hhahahahaha” they all laugh because their foolness. After that tragedy, they learn, don’t too fast make a decision. Think it first. They live with no tragedy ever after.
Subscribe to:
Posts (Atom)