madyapadma

madyapadma
my first teacher in journalistic

Friday, March 18, 2011

William "Bill" Shankly


Anda bisa menyebut banyak legenda Liverpool FC, dari Kevin Keegan, Kenny Dalglish, Ian St. John, Ron Yeates, Ian Rush, Robbie Fowler, Steven Gerrard, atau bahkan manajer sensasional yang menghadirkan 6 gelar liga dan 3 Piala Champions, Bob Paisley. Tapi gelar orang suci bagi sisi merah Merseyside hanya milik satu orang, Bill Shankly.

Tanggal 14 Desember 2009 tepat 50 tahun sejak Shankly pertama kali memegang jabatan manajer Liverpool. Klub tersebut akan mengenang peristiwa tersebut dengan mengadakan upacara peringatan sebelum menjamu Wigan Athletic esok hari. Tapi posisi Liverpool yang hanya ketujuh di klasemen sementara tentu bukan sebuah bentuk penghargaan yang baik bagi manajer yang menanamkan fondasi paling mendasar sehingga klub tersebut menjadi salah satu klub terbesar di dunia.

Sebagai pemain, Shankly lama bermain bagi Preston North End dan sempat menjadi manajer Carlisle United, Grimsby United, Workington, dan Huddersfield sebelum hijrah ke kursi bos di Anfield.

Saat pertama kali datang ke Liverpool, kondisi yang ditemui Shankly lebih dari parah. Liverpool berada di papan bawah divisi dua, dengan stadion yang bobrok, sarana latihan yang buruk, dan para pemain yang kurang mumpuni. Satu-satunya nilai lebih Liverpool adalah mereka memiliki staf kepelatihan yang lumayan di tangan Joe Fagan, Reuben Bennett, dan seorang mantan pemain yang baru beralih menjadi staf pelatih, Bob Paisley.

Fasilitas latihan di Melwood, tempat latihan resmi Liverpool sangat memprihatinkan, bahkan mungkin lebih buruk dari tempat latihan klub Liga Indonesia sekarang ini. Rumput di Melwood panjang-panjang dan tumbuh liar akibat tidak pernah dipangkas. Yang lebih parah, hanya ada satu saluran air yang bisa digunakan oleh semua pemain untuk berbagai keperluan.

Shankly, seorang yang dilahirkan dalam kelas pekerja dan seorang sosialis sejati seumur hidup, tidak memandang buruknya Melwood sebagai masalah, malah ia mengubahnya menjadi sumber kekuatan. Ia lalu mengatur agar semua pemain berkumpul di Anfield sebelum latihan dan bersama-sama naik bus menuju Melwood.

Di Melwood, Shankly memperkenalkan metode diet dan berbagai jenis latihan skill yang terhitung baru saat itu. Shankly menggunakan jenis latihan lapangan kecil dengan lima pemain di masing-masing tim, sebuah metode yang menggambarkan filosofi sepakbolanya – oper dan bergerak, sesederhana mungkin, sebuah filosofinya yang didapatnya dari tim sepakbola para pekerja tambang di Glenbuck.

Selepas latihan, Shankly menginstruksikan para pemainnya agar mandi bersama dan makan bareng sebelum naik bus kembali pulang ke Anfield. Terlihat bagaimana Shankly benar-benar mengaplikasikan ideologi sosialisnya ke dalam sepakbola.

Dalam strategi permainan pun tak jauh beda, kesatuan dan persatuan menjadi fondasi dasar Liverpool FC di eranya. Jika seorang pemain bermain buruk dalam sebuah pertandingan, gantinya memarahi, Shankly akan menyuruh pemain lain untuk melapis dan membantunya seperti ”saat anda menolong seorang tetangga atau seorang pekerja tambang yang terjatuh di kedalaman.”

Filosofi sepakbola Shankly perlahan tapi pasti menunjukkan hasil. Hanya membutuhkan waktu 2 setengah tahun, pada tahun 1962 Liverpool FC kembali ke divisi satu. Target utama Shankly adalah mengembalikan supremasi kota Liverpool yang saat itu dikuasai Everton. Pada tahun 1964, Shankly membawa Liverpool merebut gelar juara Liga dengan mengalahkan Everton yang berstatus juara bertahan. Ini adalah awal dari era legendaris yang disebut The Shankly Years.

Sepanjang karir manajerialnya di Liverpool ia memberikan klub tersebut 3 gelar juara liga, dua Piala FA, dan satu Piala UEFA. Deretan prestasi tersebut ditambah bagaimana ia menarik Liverpool yang terjerembab di lumpur divisi dua menjadi klub juara liga sebenarnya sudah cukup mematrikan nama Bill Shankly menjadi legenda. Tapi kedekatannya dengan suporter, yang diwarnai dengan berbagai sikap simpatik yang ditunjukkannya, membuat sosoknya tak pernah mati di Anfield hingga saat ini.

Seperti sudah disebutkan, Shankly berasal dari kelas pekerja dan memahami dengan sangat bagaimana para suporter memandang sepakbola tidak hanya sebagai tontonan, tapi juga masalah hidup dan mati. Mayoritas penduduk Liverpool adalah kaum pekerja dan buruh pabrik.

Shankly merasa bahwa ia telah mengecewakan para suporter jika timnya tidak bermain dengan baik. Jika sedang tidak melatih, maka Shankly akan menghabiskan waktu membalas surat para penggemar yang masuk ke Melwood. Shankly bahkan kadang-kadang mengundang beberapa suporter datang ke rumahnya untuk membahas pertandingan sehari sebelumnya. Memberi tiket gratis kepada suporter bahkan telah menjadi semacam ritual bagi Shankly, tak terhingga.

Satu peristiwa legendaris menjadi contoh sempurna bagaimana Shankly menempatkan para suporter di tempat yang terhormat. Saat ia dan para pemain sedang berlari mengitari Anfield melakukan selebrasi kemenangan juara liga tahun 1973, seorang suporter melemparkan selembar syal ke arah Shankly. Polisi segera bereaksi dan menyingkirkan syal tersebut. Tapi Shankly mengambil syal tersebut, memakainya, dan menghardik polisi dengan kalimat yang membuat seluruh Merseyside merinding, “Jangan lakukan itu. Seseorang bisa jadi menaruh seluruh hidupnya di syal tersebut.”

Shankly secara mengejutkan mengundurkan diri sebagai manajer Liverpool tahun 1974 karena ingin mempunyai lebih banyak waktu dengan keluarga. Kota Liverpool mendadak heboh setelah kabar pensiunnya Shankly merebak. Paling tidak sebuah pabrik mengancam mogok kerja kecuali pahlawan mereka kembali sebagai manajer Liverpool FC.

Pengganti Shankly di Liverpool adalah Bob Paisley, yang kelak memenangi 3 gelar Piala Champions bersama The Reds. Tapi hari-hari pertama Paisley sebagai manajer Liverpool sangat sulit. Banyak orang yang masih belum mampu menerima kenyataan bahwa Shankly telah mundur sebagai manajer Liverpool. Bahkan di Melwood, orang-orang masih memanggil Shankly dengan ”Bos”, sedang Paisley dipanggil dengan nama depannya, ”Bob”.

Setelah Shankly pensiun pun ia masih menjalin kedekatan dengan para suporter Liverpool. Ia akan dengan senang hati berdiskusi tentang sepakbola dengan siapa saja di sela-sela kegiatannya. Bahkan saat final Piala UEFA tahun 1976 di Brugge, Shankly didatangi oleh seorang suporter yang mengaku tidak mempunyai uang untuk menonton pertandingan. Shankly segera merangkul pundak suporter tersebut dan membelikannya selembar tiket.

Liverpool dirundung muram durja tanggal 29 September 1981 saat Bill Shankly wafat di kota tersebut. Konferensi Partai Buruh Inggris yang digelar dekat hari itu mengadakan sesi hening semenit untuk mengenang Shankly yang berideologi sosialis seumur hidup.

Bahkan Sir Matt Busby, bekas manajer Manchester United yang notabene rival bebuyutan Liverpool, merasa sangat sedih dan menolak untuk mengangkat telepon kepada dirinya yang ingin menanyakan komentarnya soal kematian Shankly.

Malam sesudah Shankly meninggal dunia, Liverpool bermain kandang di ajang Piala Champions dan sebelum kick-off sebuah spanduk raksasa dibentangkan di Kop bertuliskan, “Shankly Lives Forever.”

Empat hari sesudah wafatnya Shankly, saat Liverpool berhadapan dengan Swansea, manajer Swansea, John Toshack – bekas pemain yang ditransfer Shankly ke Liverpool – mengenakan baju Liverpool saat semenit peringatan memorial sebelum kick-off.

Sosok Shankly begitu penting dalam tonggak sejarah Liverpool FC. Tanpanya, Liverpool FC hanyalah sebuah klub kelas buruh dari kota pekerja yang terperosok ke divisi rendah tanpa prestasi.

Tapi lihatlah apa yang dilakukan Liverpool FC pada tahun peringatan 50 tahun kehadiran Shankly. Bertengger di posisi tujuh sementara – memiliki nilai sama dengan Birmingham, secara logis mustahil untuk meraih gelar juara liga, tersingkir dari penyisihan grup Champions League, dan memiliki jalan mendaki yang terjal agar bisa finis minimal di peringkat 4 agar lolos ke Champions League lagi tahun depan.

Apa yang sekiranya akan dikatakan Shankly seandainya ia masih hidup dan menyaksikan klub kesayangannya kepayahan seperti sekarang ini?

Bekas pemain Liverpool, Ian St John mengatakan sambil menggelengkan kepala, “Jangan tanya apa yang akan ia katakan.”

“Saya berpikir dengan penuh kesedihan dan timing saat kejadian ini terjadi membuat saya lebih sedih lagi. Kami hanya menang 3 kali dari 15 pertandingan terakhir. Ini memalukan, memalukan bagi Liverpool.

Kinerja Liverpool yang terseok-seok ini membuat kursi manajer Rafa Benitez menjadi terancam kembali. Apalagi ia sudah lama tidak akur dengan para pemilik klub asal Amerika Serikat, Tom Hicks dan George Gillet.

Tapi seandainya Shankly masih hidup, maka ia tidak akan mempedulikan para pemilik klub, ia akan lebih mencemaskan para suporter yang tentu merasa kecewa dengan rentetan hasil buruk Liverpool ini.

Seperti yang pernah dikatakan Shankly, ”Pada setiap klub sepakbola ada trinitas suci: Pemain, manajer, dan suporter. Direktur klub tidak masuk hitungan. Mereka hanya ada di sana untuk menandatangani cek. Hanya itu.”

No comments:

Post a Comment