Sutardji Calzoum Bachri bukanlah manusia super. Namun banyak orang yang mengaguminya, bahkan memujanya. Ada apa gerangan?
Dia tak mempunyai otot besi maupun kulit baja. Senjata modern yang super canggih pun tidak. Dia hanyalah seorang manusia yang menyampaikan gagasannya melalui cara berbeda. Cara yang tak asing namun mungkin tak sempat terjamah.
Puisi kontemporer, suatu mahakarya yang melambungkan namanya. 1970 merupakan awal bagi era puisi kontemporer. Sebelumnya, puisi identik dengan tingkat sastra tinggi, kata-kata indah nan menyentuh, dan tentu saja pesan dalam di balik puisi itu sendiri. Namun semua itu dipatahkan oleh Sutardji.
Puisi era 70an tak lagi “manis di lidah” layaknya era era sebelumnya. Puisi kontemporer merupakan sebuah karangan bebas tak terbatas. Makna dari tak terbatas disini, benar-benar bebas, bahkan sampai di luar nalar. Kita bisa menengok pada puisi “tragedi winka & sihka” karya Sutardji. Kata-kata dalam puisi ini tak tercantum dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Namun, puisi ini merupakan suatu mahakarya Sutardji yang mana menjadi bapak puisi kontemporer.
Puisi yang menceritakan tentang tragedi suatu perkawinan ini, mempunyai lingkup yang benar-benar luas, bahkan tak terbatas. Bila dibaca sekilas, entah apa makna dari puisi yang hanya membolak-balik kata itu. Namun, bila direnungkan, puisi itu mengandung suatu unsur kehidupan. Unsur yang selama ini terlupakan dan hampir tak terjamah.
Bangkitnya puisi kontemporer
Era sebelum era 70an, hanya orang-orang berkadar sastra tinggi yang bisa membuat puisi. Hal itu tampaknya sampai pada titik jenuhnya. Sutardji Carlzoum Bachri menawarkan sesuatu yang segar dan unik. Kali ini sifatnya universal, tak terpaku pada kadar sastra seseorang. Bahasa nyeleneh menjadi salah satu cirinya, selain juga menjadi sebuah sindiran. Menurut Sutardji, dalam puisi kontemporer yang dipentingkan adalah bentuk fisik, bukan tipografi, seperti puisi kebanyakan.
Tak butuh waktu lama bagi puisi kontemporer untuk masuk ke dunia sastra Indonesia. Mungkin karena sifatnya yang universal, tak terpaku pada sastra tingkat tinggi, banyak yang menyukainya. Setelah awal kemunculan Sutardji dengan puisi kontemporernya, punjangga kontemporer pun mulai bermunculan.
Puisi kontemporer bisa dibedakan menjadi tujuh, yaitu puisi tanpa kata, puisi mini kata, puisi multi lingual, puisi tipografi, puisi supra kata, puisi idiom baru, dan puisi mbeling. Khusus untuk puisi mbeling, merupakan suatu sindiran. Bahasa yang digunakan pun nyeleneh. Kadang, orang yang menjadi objek sindiran pun ikut tertawa.
Puisi kontemporer
Seperti yang telah dijabarkan, puisi kontemporer merupakan puisi yang tidak mementingkan tipografi yang konvensional seperti puisi lama atau puisi baru. Puisi kontemporer lebih mementingkan bentuk grafis atau fisik untuk mengungkapkan perasaan penyairnya.
Pujangga kontemporer sengaja merakit kata-kata sedemikian rupa untuk menimbulkan bunyi yang indah. Penyair kadang membolak-balikkan kata-kata yang mengaburkan makna demi untuk menjadi seperti yang diinginkan.
Sutardji yang merupakan pencetus puisi kontemporer merupakan penulis bebas. Dialah yang mengembangkan puisi kontemporer, sebelum bermunculan pujangga kontemporer lain. Salah satu pengembangannya berupa penyimpangan tata bahasa normatif untuk mendapatkan arti yang dia inginkan.
No comments:
Post a Comment